KOTA Tasikmalaya pada 17 Oktober 2022 akan menginjak usia 21 tahun. Usianya sangat matang dan dewasa. Namun kota yang kini sudah sangat metropolis tersebut memiliki pekerjaan rumah serius. Yakni kemiskinan.
Bahkan Kota Tasikmalaya yang dulu pernah menggaungkan diri sebagai kota dengan perdagangan dan jasa termaju di Priangan Timur itu, kini memiliki label sebagai Kota Termiskin di Jawa Barat.
Apalagi persentase warga miskin di Kota Tasikmalaya diketahui meningkat pada 2021. Hal itu seiring dengan kesenjangan ekonomi yang semakin renggang antara si miskin dan si kaya.
Baca Juga:Butuh 10 Lapangan BasketRumah Rusak Disapu Angin Puting Beliung
[membersonly display=”Baca selengkapnya, khusus pelanggan Epaper silakan klik” linkto=”https://radartasik.id/in” linktext=”Login”]
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Tasikmalaya, tahun 2021 persentase warga miskin di angka 13,13 persen. Jika dihitung dari jumlah penduduk 723.921 (data BPS), maka warga miskin di Kota Tasikmalaya berjumlah sekitar 95.050 orang.
Angkanya terus meningkat di tiga tahun terakhir. Di mana tahun 2019 di angka 11,60 persen dan 2020 di angka 12,97 persen.
Kepala BPS Kota Tasikmalaya Bambang Pamungkas SST menerangkan bahwa persentase itu tidak dilakukan berdasarkan penduduk sesuai Kartu Tanda Penduduk (KTP). Namun data itu meliputi warga yang sudah berdomosili di Kota Tasikmalaya setidaknya setahun. ”Jadi warga luar pun kalau sudah setahun kita hitung meskipun bukan KTP Kota Tasik, karena warga Kota Tasik yang merantau ke luar daerah pun banyak juga,” ucapnya kala itu kepada Radar.
Banyaknya warga miskin ditentukan oleh garis kemiskinan yang setelah dihitung, pengeluaran perkapita dalam satu bulan Rp 480.341 untuk makanan dan non makanan. Artinya warga dengan pengeluaran kurang dari jumlah tersebut masuk kategori di bawah garis kemiskinan. ”Itu standar pengeluaran minimal untuk hidup di Kota Tasik secara layak,” tuturnya.
Angka tersebut tidak berpatokan pada penghasilan atau pengeluaran langsung dari warga. Berbagai pemenuhan kebutuhan dari segala sumber bantuan pemerintah pun ikut dihitung. ”Misal sekolah gratis, kita hitung itu sebagai pengeluaran warga, hanya saja dibayar oleh pemerintah,” katanya.
Ditanya soal sebaran warga miskin, pihaknya tidak mengolah data lebih jauh sampai penyebarannya. Namun kerawanan kemiskinan bukanlah di pelosok atau perkampungan, melainkan wilayah perkotaan. ”Karena kalau di permukiman kota segala sesuatu harus beli, beda dengan di kampung. Di mana warga bisa memanfaatkan hasil pertanian sendiri,” ujarnya.