Walhi Jabar Rekomendasikan TPA Ciangir Kota Tasikmalaya Dipindah

tpa ciangir di tasikmalaya
Direktur Esekutif Walhi Jabar Wahyudin Iwang saat mengunjungi TPA Ciangir pekan lalu. (IST)
0 Komentar

BANDUNG, RADARTASIK.ID – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat melakukan investigasi terhadap dampak Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Ciangir di Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, pada Kamis 30 Januari 2025.

Hasilnya, kehadiran TPA dinilai telah merusak nilai ekologi dan juga mengesampingkan hak masyarakat sekitar, terutama warga Kampung Cikadongdong, Kecamatan Tamansari, yang pemukimannya berbatasan langsung dengan area pembuangan sampah.

Menurut Koordinator Kebencanaan Walhi Jawa Barat, Jundi Maulana, warga di sekitar TPA Ciangir mengalami kesulitan mendapatkan air bersih.

Baca Juga:Biar Beli Gas LPG 3 Kilo Gak Pusing, Gunakan Link Pencarian Pangkalan Gas LPG Terdekat IniGubernur Jawa Barat Terpilih Dedi Mulyadi Tawarkan Dua Opsi untuk Selesaikan Permasalahan Penahanan Ijazah

“Air sumur yang dulunya jernih, kini berubah warna dan berbau, memaksa warga mengeluarkan biaya tambahan untuk membeli air bersih, padahal lokasi tersebut sangat berlimpah air,” ujar Jundi dalam rilis resminya, Selasa 4 Februari 2025.

TPA Ciangir, yang berdiri sejak 2002, awalnya diharapkan menjadi solusi pengelolaan sampah Kota Tasikmalaya. Namun, setelah lebih dari dua dekade beroperasi, dampak negatifnya mulai terasa. Jundi menyebutkan bahwa lindi atau cairan yang keluar dari sampah telah meresap ke dalam tanah, mencemari sumber air yang menjadi andalan warga selama bertahun-tahun.

Selain pencemaran air, udara di sekitar TPA pun tercemar dengan aroma tidak sedap dan partikel berbahaya.

“Keluhan sesak napas menjadi cerita sehari-hari warga, terutama saat musim kemarau ketika asap pembakaran sampah memenuhi udara,” kata Jundi. Anak-anak dan lansia menjadi kelompok paling rentan terkena gangguan pernapasan akibat pencemaran udara dari TPA tersebut.

Ironisnya, di tengah ancaman lingkungan dan kesehatan, TPA Ciangir juga menjadi sumber penghidupan bagi sebagian warga. “Setiap hari, puluhan pemulung turun ke area pembuangan, mengais rezeki dari sampah yang datang,” lanjut Jundi.

Dengan penghasilan minimal Rp20 ribu per hari, aktivitas ini menjadi tulang punggung ekonomi bagi banyak keluarga. Namun, kompensasi dari pemerintah dinilai jauh dari layak.

“Kompensasi dari pemerintah terasa jauh dari kata layak. Hanya sebuah puskesmas perbantuan yang disediakan, tanpa ada program kompensasi langsung kepada warga terdampak. Bahkan, program pemberdayaan masyarakat nyaris tidak ada, meninggalkan warga dalam dilema antara kesehatan dan kebutuhan ekonomi,” kata Jundi.

0 Komentar