Ulama dan Politik Moral

Ulama dan politik
Asep M Tamam
0 Komentar

​Dari masa ke masa, konteks yang mengitari keterlibatan para ulama dalam politik berbeda-beda dan berubah-ubah. Hingga di masa sekarang, meskipun tidak dominan, dari level legislatif kota dan kabupaten hingga level provinsi dan nasional, tak luput dari kehadiran para ulama di dalamnya. Pertanyaan “Apa dan bagaimana pengaruh kehadiran para ulama di dalamnya?” tentu sulit untuk ditentukan jawabannya. Yang pasti, mereka menjadi politisi dan terpilih masuk menjadi anggota legislatif merupakan hasil dari kepercayaan rakyat sebagai pemilih kepada mereka.

Catatan penting dari masyarakat di Indonesia tentang politik para ulama adalah harapan besar terciptanya politik yang baik dan terpuji, baik di legislatif maupun eksekutif. Lebih jauhnya, keterlibatan mereka dalam pemerintahan akan menjauhkan proses pembangunan dari syubhat, makruh, dan haramnya perilaku kepemimpinan. Dalam konteks di Indonesia, dari level kota dan kabupaten hingga di level provinsi dan nasional, politik bisa bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Di sisi lain, bisa jadi, masyarakat memilih para ulama atas dasar harapan hadirnya kehidupan islami yang diperjuangkan melalui kebijakan dan kewenangan yang melekat pada diri mereka sebagai pemimpin.

Penjaga Moral Politik

​Jika dihitung, beban berat politisi dengan latar belakang seorang ulama lebih berat dibanding latar belakang lainnya. Harapan rakyat yang disematkan di dada mereka juga lebih kompleks. Ya sebagai politisi, ya sebagai ulama. Jika benar, Kebaikannya bisa berlipat karena ilmu dan pengetahuannya. Sebaliknya, jika tidak benar, dan itu bisa saja terjadi, maka beban kesalahannya pun berlipat. Salah kepada dirinya, kepada rakyatnya, kepada korp keulamaan yang melekat pada dirinya, juga kepada tuhannya.

Baca Juga:Asep Goparullah dan Kursi Paling Empuk!Penunjukkan Plh Sekda Tak Perlu Tunggu Pj Wali Kota Pulang Ibadah Haji

​Tentu saja tidak semua dan tidak selalu perilaku politik para ulama itu sesuai dengan harapan. Das sollen (yang diidealkan) sering berbeda dengan das sein (realitas yang terjadi). Kehadiran seorang ulama di kancah politik bahkan bisa meleset dari harapan. Kita masih mengingat seorang ulama dan Bupati Bangkalan yang merupakan kiai dan keturunan dari pemimpin spiritual tertinggi di Pulau Madura, Syaikh Khalil Bangkalan. Bupati yang berinisial FAI ini divonis 13 tahun penjara oleh MA di tahun 2017 lalu. Terakhir, di bulan Mei 2024 ini, seorang kiai yang merupakan Bupati Sidoarjo, Jawa Timur, dengan inisial GM ditangkap dan dijadikan tersangka dalam kasus korupsi.

0 Komentar