Ada Indikator, Baru Bisa Pemberdayaan

Ada Indikator, Baru Bisa Pemberdayaan
Arief Abdul Rohman Sekretaris Karang Taruna Kota Tasikmalaya
0 Komentar

Kemiskinan di Kota Tasikmalaya tampaknya seperti hantu. Keberadaannya diyakini adanya namun tidak jelas indikatornya. Tanpa ada indikator pasti, tentunya kata miskin menjadi hal yang subjektif.

Laporan: RANGGA JATNIKA

 DI atas langit masih ada langit, dan di bawah tanah masih ada tanah. Orang kaya akan terlihat miskin ketika di lingkungan orang yang jauh lebih kaya. Begitu juga orang miskin bisa terlihat kaya ketika di lingkungan orang yang jauh lebih miskin.

Seperti itulah kemiskinan di Kota Tasikmalaya. Status orang miskin belum terukur berdasarkan indikator tertentu. Dengan demikian muncullah pandangan subjektif dalam menilai kemiskinan.

Baca Juga:Martir MinoritasBenteng di Pinggir Jalan Tuai Kritik

[membersonly display=”Baca selengkapnya, khusus pelanggan Epaper silakan klik” linkto=”https://radartasik.id/in” linktext=”Login”]

Dalam situasi bergengsi, seseorang tidak ingin terlihat sebagai warga yang miskin. Namun ketika ada program bantuan, tidak sedikit yang merasa menjadi miskin.

Karang taruna merupakan organisasi yang bisa dibilang orang-orangnya berbaur dengan masyarakat. Namun ketika ditanya seperti apa warga miskin di Kota Tasikmalaya, masih kebingungan.

Sekretaris Karang Taruna Kota Tasikmalaya Arief Abdul Rohman mengatakan sejauh ini kemiskinan masih terbilang subjektif. Pasalnya belum ada indikator untuk mengukur orang miskin. ”Apa yang pengangguran, atau penghasilan rendah, tidak punya rumah? Atau yang bagaimana kita semua belum tahu pasti,” ucap Ketua Karang Taruna Kecamatan Cihideung tersebut.

Diakuinya potret kemiskinan itu ada, pernah beberapa yang dia temukan. Seperti halnya lansia yang hidup sebatang kara dan mengandalkan pemberian orang untuk makan. ”Tapi kalau lansia apalagi yang sakit kan tidak mungkin ditanggulangi dengan pemberdayaan, jelas itu harus rutin diberi bantuan,” tuturnya.

Penanggulangan kemiskinan dengan pemberdayaan sosial tentunya harus menyasar usia produktif. Sementara usia produktif seperti apa yang harus menjadi sasarannya. ”Karena kalau hanya untuk makan, sepertinya kita belum menemukan ada anak muda yang sampai setiap harinya kelaparan,” katanya.

Dengan ketidakjelasan itu tidak bisa disalahkan ketika ada pihak atau lembaga yang menyebut Kota Tasikmalaya merupakan kota termiskin. Namun tidak bisa disalahkan juga ketika ada yang menanggap kemiskinan di Kota Resik tidak begitu parah. ”Namanya subjektif kan bebas, seperti makanan yang menurut kita enak belum tentu menurut orang lain sama,” ucapnya.

0 Komentar