Beberapa anak kecil yang dulu dilarang bermain di sungai karena “takut menyatu dengan lumpur” kini bisa kembali nyebur tanpa takut pulang dengan warna kulit satu tone lebih gelap.
Bahkan beberapa pemuda bercanda:
“Lamun ti baheula ditutup, ayeuna mah bisa surfing. Teu kudu nunggu banjir.”
Meski mereka merayakan kondisi lingkungan yang membaik, warga tidak menutup mata: butuh waktu lama dan konflik panjang sebelum tambang akhirnya ditutup.
Baca Juga:Kemiskinan Dorong Perceraian, Perceraian Perburuk Kemiskinan di Priangan TimurPersikotas Juara, Masa Depan Terbuka: Wali Kota Sediakan Beasiswa Kuliah di UMB
Kini, keheningan yang dulu terasa aneh justru menjadi keindahan baru. Sungai mengalir tanpa gangguan. Udara bersih tanpa konvoi truk. Dan kehidupan kembali seperti alur cerita desa yang tenang.
Penutupan tambang pasir Galunggung memberi pelajaran yang sangat sederhana namun sering dilupakan: alam sebenarnya tidak minta banyak—hanya minta istirahat.
Dan kini, setelah tambang berhenti bersuara, Sinagar kembali menemukan musik alamnya sendiri: gemericik air, riak kolam, dan tawa warga yang akhirnya bisa hidup tanpa bayang-bayang debu. (red)
