TASIKMALAYA, RADARTASIK.ID – Ratusan warga dari Kampung Picung, Desa Guranteng, Kecamatan Pagerageung, dan Kampung Antralina, Desa Buniasih, Kecamatan Kadipaten, Kabupaten Tasikmalaya, mendatangi Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Tasikmalaya, Senin, 19 Mei 2025.
Mereka menuntut kepastian hukum atas tanah Pangangonan yang telah mereka tempati selama puluhan tahun.
Kedatangan warga ini merupakan kelanjutan dari proses pendaftaran tanah Pangangonan yang dilakukan ke Kantor BPN pada 8 April 2025 lalu.
Baca Juga:Tingkatkan Kecintaan pada Akuntansi, Universitas Mayasari Bakti Laksanakan LCTA dan Siapkan Ratusan BeasiswaHistori Batu Andesit di Depan Masjid Agung Tasikmalaya: Dibangun Rp 12,5 Miliar, Dibongkar Lagi Rp 400 Juta!
Namun, hingga kini belum ada kejelasan status hukum lahan tersebut. Warga menuntut kejelasan dan mendorong BPN segera menyelesaikan proses administrasi yang masih tertunda.
Dedi Supriadi, kuasa hukum sekaligus pendamping warga terdampak bencana, menyayangkan sikap BPN yang dinilainya lamban merespons.
“Ini kan sudah mulai dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten, audiensi dua kali, dan oleh provinsi sudah diberikan ke masyarakat. Kemudian kita menerima syarat dan ditempuh semuanya,” ujarnya.
Ia menegaskan tidak menerima apabila muncul persyaratan tambahan. Jika pun ada, seharusnya diselesaikan oleh pihak BPN dengan berkoordinasi bersama pemerintah daerah.
“Masa masyarakat harus suruh ke sana kemari lagi,” ungkapnya.
Dedi juga menekankan bahwa penyelesaian persoalan ini membutuhkan revolusi hukum dan empati terhadap korban bencana.
“Regulasi itu diamkan dulu, berempati dulu. Sebab, bagaimanapun juga masyarakat yang terdampak puluhan tahun tidak menerima hak-hak sebagai warga negara,” katanya.
Baca Juga:Viman Alfarizi (Bukan) Dedi Mulyadi!Real! Game Penghasil Uang Ini Bisa Bikin Kamu Kaya Raya
Ia mencontohkan warga terdampak tidak mendapatkan bantuan sosial, program rumah tidak layak huni, maupun aspirasi dari dewan, meski mereka tetap melaksanakan kewajiban sebagai warga negara, seperti ikut pemilu dan memilih pemimpin.
Menurut Dedi, tanah yang disengketakan merupakan tanah negara dan bukan milik desa atau kabupaten. Ia pun menilai tidak ada alasan bagi BPN untuk tidak menyelesaikan prosesnya.
“Kami merasa aneh dan sebagai pendamping atau kuasa hukum memberikan waktu 2×24 jam, kalau dipandang ada administrasi yang kurang mereka yang harus memenuhinya. Jangan melibatkan lagi masyarakat dan jangan bebani lagi masyarakat,” tegasnya.
Dedi juga menyayangkan sikap Kepala Desa Guranteng yang tidak memberikan surat pengantar, padahal telah ditegaskan bahwa tanah tersebut adalah tanah Pangangonan, bukan tanah desa.