Fauz Noor Zaman kembali menyapa kita dengan Novel Pembuka Hidayah : Biografi Uwa Ajengan Jilid 3 dan launching dalam Reuni Himpunan Alumni Miftahul Huda (HAMIDA) ke-44. Sebelum menutur pandangan subjektif buku ini, saya terlebih dahulu perlu mengucapkan apresiasi kepada penulis yang konsisten menerbitkan novel biografi para ulama di Tasikmalaya.
Di jilid pertama dan kedua, Fauz Noor banyak memotret perjalanan hidup Uwa Ajengan dari masa kecil, menjadi santri kelana hingga melakukan perjuangan bersama DI/TII sampai tahun 1960-an, hingga Uwa Ajengan turun gunung datang ke Manonjaya. Adapun di jilid ketiga ini Fauz Noor memotret sepak terjang Uwa Ajengan dalam dakwah dan tarbiyah dengan mendirikan Pesantren Miftahul Huda. Di sinilah penulis dengan apik mampu menarasikan bagaimana kejeniusan dan keautentikan Uwa Ajengan begitu sangat nyata di depan mata dengan berhasil mendidik ribuan santri yang tersebar di seantero Indonesia.
Fauz Noor mampu menggambarkan Uwa Ajengan sebagai mubaligh dengan ciri khas dakwah dengan memakai dialek seorang dalang dan tak jarang diselipkan dengan guyonan sehingga membuat ceramahnya tidak membosankan. Selain mengisi ceramah di tengah-tengah masyarakat, Uwa Ajengan tetap tidak meninggalkan mengajar para santrinya.
Baca Juga:Telur Kadukang Diminati ThailandSDN 1 Pengadilan Juara Dua Tari Kreasi
Kelebihan novel ini ditulis oleh seseorang yang memiliki latar belakang pesantren, sehingga di sini penulis dengan apik menarasikan suasana belajar mengajar di pesantren lebih hidup. Penulis sangat menjiwai ketika menarasikan setiap Uwa Ajengan berinteraksi dengan para santrinya, seolah-olah pembaca akan dibawa merasakan suasana belajar di pesantren.
Fauz Noor mampu mengisi novel biografi ini bukan hanya sekedar narasi pengetahuan sastra tetapi diisi dengan berbagai pesan yang biasa ada dalam tradisi pesantren, salah satunya bagaimana konsep ta’zhim santri kepada gurunya, ini digambarkan penulis ketika Uwa Ajengan mau mendirikan pesantren, ia meminta pendapat dan do’a restu kepada guru-gurunya, sehingga buku ini terasa lebih bergizi.
Pesantren Miftahul Huda didirikan pada 7 Agustus 1967 bertepatan dengan 2 Rabi’ul Akhir 1387 H oleh Uwa Ajengan, nama Miftahul Huda adalah nama yang ia dapatkan setelah laku spiritual yang tidak mudah. Penulis tidak menjelaskan lebih detail kenapa Miftahul Huda didirikan 7 Agustus, padahal tanggal pendirian Pesantren Miftahul Huda memiliki kesamaan dengan Proklamasi DI/TII 7 Agustus 1949. Ini sebenarnya memiliki pesan tersirat dan simbol peralihan perjuangan Uwa Ajengan dari jihad mengangkat senjata menjadi jihad dengan pemikiran melalui jalan dakwah dan tarbiyah.