TASIKMALAYA, RADARTASIK.ID – Di kalangan mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Siliwangi, nama Hendra Gunawan SIP MSi lekat dengan kesan bersahabat. Baginya, ruang kelas bukan satu-satunya tempat belajar. “Diskusi itu bisa di mana saja, yang penting kita sama-sama mencari makna,” begitu ia kerap menyemangati mahasiswanya.
Lahir di Tasikmalaya, 13 Januari 1984, Hendra menempuh pendidikan dari SDN 2 Nagarawangi hingga SMA Negeri 1 Tasikmalaya. Ia kemudian meraih gelar S1 di Universitas Jenderal Soedirman (2007) dan menyelesaikan studi magister di Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Tasikmalaya (2012). Jalan panjang itu mengantarnya memilih profesi dosen, sebuah peran yang ia sebut sebagai “jalan pengabdian, bukan sekadar pekerjaan.
Kedekatan dengan mahasiswa berjalan seiring dengan kiprah akademiknya. Dalam tujuh tahun terakhir, ia menulis sejumlah penelitian yang menyorot isu demokrasi, politik uang, patronase desa, hingga kekerasan seksual. Tahun 2024, ia mengkaji praktik politik uang pada Pilkada Kabupaten Tasikmalaya. Tahun-tahun sebelumnya, ia meneliti problematika hukum pemilu, hingga budaya politik pesantren di Jawa Barat. “Ilmu politik itu bukan menara gading, ia harus turun menyentuh denyut masyarakat,” tuturnya.
Baca Juga:164 Mahasiswa UBK Tasikmalaya Dinyatakan Lulus, Peluang Kerja di Jepang dan Timur Tengah TerbukaSharp Gelar AC Installer Championship 2025, Dorong Kompetensi Teknisi Indonesia
Tak hanya meneliti, Hendra aktif membangun kesadaran publik. Ia terlibat dalam program “Gerakan Politik Sadar Demokrasi” di Cilacap (2025), “Sekolah Politik Siliwangi” (2023), hingga pemberdayaan perempuan dalam politik (2022). Dari desa hingga kampus, ia percaya pendidikan politik adalah kunci peradaban yang lebih sehat.
Kiprah itu membuatnya kerap diundang menjadi pembicara. Dari forum MPR RI, Bawaslu, BPIP, hingga organisasi mahasiswa, ia tak pernah segan berbagi gagasan. Topik yang dibawanya beragam: dari penguatan demokrasi, wawasan kebangsaan, hingga peran pemuda di pemilu. Mahasiswa menyebut gaya bicaranya sederhana, tapi menyentuh.
Pengalaman lapangan itu memperkaya ruang kelas. Mahasiswanya merasakan bagaimana teori yang diajarkan selalu disertai contoh nyata. “Belajar politik harus lewat realitas. Kalau tidak, kita hanya menghafal, bukan memahami,” katanya dalam sebuah diskusi mahasiswa.
Di luar semua aktivitas akademis, Hendra dikenal mudah didekati. Ia mendengarkan keluhan mahasiswa, membuka ruang dialog, bahkan sering memberi motivasi personal. “Tugas dosen bukan hanya mengajar, tapi menemani proses tumbuh. Kalau mahasiswa kita berani berpikir kritis, itulah hadiah terbaik bagi seorang pengajar,” ungkapnya.