Tunggu Ahli

Tunggu Ahli
Dahlan ISkan
0 Komentar

Waktu itu Fadil belum jadi wartawan. Ia masih bekerja di perusahaan mebel Olympic. Setelah menjadi wartawan Radar Cianjur –pesaing berat Cianjur Ekspress yang pemiliknya sama– Fadil sering melihat Google. Ia cari-cari model bangunan rumah minimalis. Selama satu minggu Fadil membanding-bandingkan gambar di Google. Hasilnya ia rundingkan dengan istri. Setuju. Pilih yang itu. Fadil akan membangun rumah di tanah mertua persis seperti rumah yang ada di Google.

Fadil pun menemui tukang di kampung itu. Ia dikenal sudah biasa membangun rumah. Rumah di seberang tanah mertua itu pun orang itu yang membangun.

Maka Fadil menyerahkan foto dari Google itu. “Tolong bangunkan rumah persis di gambar ini,” kata Fadil pada tukang tersebut.

Baca Juga:Angka Kemiskinan Sebatas PajanganBom Bunuh Diri di Bandung, Tasik Waspada!

Fadil tidak memberi arahan apa pun. Soal fondasi, balok dan slop diserahkan sepenuhnya pada tukang tersebut. “Saya tidak mengerti apa-apa soal bangunan,” katanya.

Maka rumah Fadil dibangun tanpa gambar konstruksi. Ia tidak pernah memikirkan untuk memakai jasa arsitektur. Anggapannya: arsitektur itu mahal.

Tiap hari Fadil menengok orang itu mengerjakan rumahnya. Hanya satu orang itu yang bekerja, ditambah satu pembantu tukang. Empat bulan selesai. Fadil tidak pernah melakukan koreksi apa pun terhadap karya tukang tersebut. ”Saya masih ingat ongkos tukang itu, Rp 100.000/hari. Pembantunya Rp 80.000/hari,” katanya. Itu tahun 2017.

Rumah itu dua lantai. Saya tidak berani naik ke lantai atas. Takut roboh. Yang jelas, rumah ini belum lunas. Biaya membangun tadi ia dapat dari kredit bank: Rp 200 juta. ”Baru dua tahun lagi lunas,” katanya.

Saat gempa terjadi, 21 November jam 13.21, Fadil akan berangkat kerja. Tapi anak keduanya rewel. Si anak tidak mau sekolah. Jam segitu seharusnya si anak masuk sekolah agama. Lokasi sekolah itu di sebuah rumah ustad yang hanya selisih tiga rumah dari rumah retaknya.

Si anak sekolah TK pagi hari, lalu sekolah agama sore hari.

”Hari itu ia tidak mau sekolah sore. Rewel. Minta ikut saya pergi ke kantor,” ujar Fadil. Maka si anak diajak muter-muter dulu. Bersama ibunya. Di tengah jalan terjadilah gempa. Ia bergegas membalik mobil. Pulang. Dari luar rumahnya terlihat utuh. Ia lihat rumah ustad yang untuk sekolah agama itu runtuh. Empat murid meninggal di dalam reruntuhan. Jumlah itu mestinya lima kalau si anak tidak rewel.

0 Komentar