[membersonly display=”Baca selengkapnya, khusus pelanggan Epaper silakan klik” linkto=”https://radartasik.id/in” linktext=”Login”]
Kalau kita lihat ke belakang, tujuan dari diselenggarakannya Pemilu 2019 lalu adalah, pertama untuk menciptakan sistem multipartai sederhana. Kedua, menciptakan sistem presidensial yang kuat. Ketiga, partai yang memiliki kursi di DPR sebagai satu-satunya saluran aspirasi. Keempat, tidak terjadi praktik politik uang. Pertanyaannya kemudian adalah apakah Pemilu 2019 menciptakan keempat hal tersebut? Maka jawaban yang paling rasional sesuai fakta adalah sistem Pemilu 2019 tidak dapat menciptakan keempat hal tersebut. Ada beberapa penjelasan yang sesuai dengan fakta untuk mendeskripsikan argument tersebut. Pertama bahwa Pemilu 2019 tidak menciptakan multipartai sederhana. Malahan Pemilu 2019 justru menciptakan hal sebaliknya, sistem kepartaian yang terbentuk adalah sistem multipartai ekstrem. Bahkan hal ini sudah terjadi sejak Pemilu 2009. Secara berurutan: 2009 menghasilkan 10 partai di parlemen, Pemilu 2014 menghasilkan 9 partai, dan Pemilu 2019 menghasilkan 10 partai parlemen. Dengan demikian tujuan sistem kepartaian yang hendak dicapai dalam Pemilu-Pemilu Indonesia, gagal menghasilkan sistem multipartai sederhana, sekitar 4-6 partai. Selain itu, partai politik saat itu -mungkin juga saat ini- lebih kepada pengorganisasian pengurus daripada anggota. Padahal anggota, dalam sebuah partai politik, merupakan elemen penting dalam keberlangsungan partai. Faktanya hari ini, anggota partai hanya digunakan dalam dua hal. Pertama, pemenuhan syarat partai peserta Pemilu dan kedua digunakan saat pencoblosan Pemilu.
Argumentasi kedua, sistem presidensial yang hendak diperkuat, malah kebablasan nyaris tanpa kontrol. Karena -kebetulan- partai penguasa di parlemen saat ini -Pemilu 2019- sama dengan partainya pemerintah, sehingga yang terjadi di lapangan secara nyata adalah koalisi gemuk antar partai, sehingga control terhadap pemerintahan hasil Pemilu 2019 tidak terjadi. Bahkan kekuasaan presiden 2019 nyaris powerfull tanpa tanding. Akibatnya, apapun kebijakan yang digagas oleh pemerintah pasti mendapat dukungan dari parlemen. Yang dikhawatirkan terjadi adalah jika partai pengusung presiden berbeda dengan partai penguasa di parlemen, seperti yang terjadi pada Pemilu 2004. Dimana saat itu SBY menjadi presiden akan tetapi di parlemen, Partai Demokrat tidak menjadi partai dominan. Sehingga untuk memperkuat posisi presiden di parlemen, Partai Demokrat melakukan koalisi dengan partai lain yang lebih dominan di parlemen. Sehingga posisi SBY sebagai presiden “seakan-akan” terpenjara oleh koalisi partai di parlemen. Argumentasi ketiga, bahwa pada Pemilu 2019 sangat marak terjadi praktik politik uang. Baik yang dilakukan oleh calon anggota dewan secara mandiri, maupun oleh tim sukses dari calon presiden. Sehingga cita-cita Pemilu 2019 memangkas praktik politik uang juga tidak terjadi. Yang terjadi justru malah sebaliknya, maraknya politik uang di Pemilu 2019.