Partai NU & Politik Presiden Soekarno

Partai NU & Politik Presiden Soekarno
Oleh: Andri Nurjaman, M. Hum, Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung
0 Komentar

Berbeda dengan strategi yang dimainkan oleh Partai NU yang memilih untuk bersikap fleksibel, akomodatif dan bekerja sama dengan pemerintah Presiden Soekarno. Itu artinya bahwa Partai NU menerima sistem demokrasi terpimpin dan ideologi Nasakom (Nasionalis, Agamais dan Komunis).

Penerimaan Partai NU pada waktu itu kepada konsep baru Presiden Soekarno tidak berdasarkan ambisi politik buta, namun memiliki dasar-dasar ilmiah yang kuat dan realita politik yang sangat nyata sehingga menghasilkan ijtihad diniyyah fi syiyasah yang mampu menyelamatkan umat Islam terkhusus jamaah dan jamiyyah NU.

Dasar ilmiah tersebut yang pertama dan paling utama adalah alasan teologis yang berpijakan pada teori fikih dan ushul fikih. Dalam hal ini, misalkan Menteri Agama dari NU yaitu Prof. KH. Saifuddin Zuhri membawa dalil pesantren dalam rangka NU turut pada sistem yang diciptakan oleh Presiden Soekarno tersebut: “Malayudraku Kulluhu Laatutraku Kulluhu”.

Baca Juga:Karnaval Membentuk Profil Pelajar PancasilaTerus Berupaya Bangkitkan Ekonomi

Alasan teologis ini pula yang menjadi sebuah jawaban terhadap apa yang dituduhkan Masyumi kepada Partai NU, bahwa NU adalah partai yang oportunis, bahkan Mbah Wahab Chasbullah dicap sebagai Kiai Nasakom. Hal ini adalah sebuah fitnahan politik belaka dari lawan politik NU pada saat itu.

Partai Nahdlatul Ulama memiliki dasar fikih yang kuat dalam keterlibatannya di pemerintahan, di antara yang paling terpenting adalah konsep maslahat dan mudarat yaitu didasarkan untuk mencegah datangnya mudarat yang lebih besar daripada men­cari kebaikan. Hal ini diperkuat dengan teori ushul fikih yang berbunyi “Dar’ul mafasid muqoddamun ala jalbil mashalih” yang artinya menghindari kerusakan lebih diutamakan daripada mengambil manfaat.

Partai NU harus ikut di dalam DPR dengan tujuan untuk membetulkan kesalahan-kesalahan pemerintah yang akan dibentuk menurut prinsip pada Al-Qur’an yaitu amar ma’ruf nahyil mungkar.  NU menyatakan kewajiban amar ma’ruf nahyil mungkar lebih mungkin dan efektif dilakukan jika berada di dalam sistem.

Pertimbangan keagamaan muncul juga dari ketua umum PBNU saat itu yaitu KH Idham Chalid bahwa sistem dan konsep demokrasi terpimpin adalah sesuai dengan ajaran Islam yaitu syuro, asalkan menonjolkan musyawarah untuk mencapai mufakat.

0 Komentar