Hadapi Resesi dengan Perencanaan Keuangan yang Tepat

Hadapi Resesi dengan Perencanaan Keuangan yang Tepat
Petugas kebersihan beraktivitas di dekat layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (9/5/2022). Pasca libur Lebaran, perdagangan IHSG di buka melelmah 74 poin atau 1,02 persen ke posisi 7.154,92, sementara pada sore harinya IHSG ditutup di level 6.909,75. FOTO:MIFTAHULHAYAT/JAWA POS
0 Komentar

Berdasarkan hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada tahun 2019, tingkat literasi keuangan dan inklusi keuangan 2019 masing-masing mencapai 38,03 persen dan 76,19 persen.

Angka tersebut di atas target yang telah ditetapkan pemerintah dalam Peraturan Presiden No. 82 tahun 2016 tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI) sebesar 75 persen untuk tingkat inklusi keuangan. Target tingkat literasi keuangan yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden No. 50 tahun 2017 tentang Strategi Nasional Perlindungan Konsumen sebesar 35 persen juga telah terlampaui.

“Dengan program yang sudah terencana dengan baik dan tepat sasaran, OJK akan dapat mencapai target inklusi keuangan sebesar 90% tahun 2024, sesuai dengan yang diamanatkan dalam Perpres Nomor 114 Tahun 2020 tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusif,” jelasnya.

Baca Juga:Optimistis KPR Bakal Terus TumbuhTanggulangi Narkoba dari Tingkat Bawah

Lebih lanjut, Piter Abdullah meyakini meskipun sejumlah negara diprediksi mengalami resesi, Indonesia masih bisa bertahan karena fundamental Indonesia masih kuat. Perekonomian nasional tidak sepenuhnya tergantung kepada ekonomi di luar negeri. Kontribusi ekspor terhadap ekonomi tidak besar atau tidak sampai 20 persen.

”Indonesia berbeda dengan negara lain, seperti Singapura dan Jepang yang sangat tergantung kepada ekspor, sehingga ketika ekspor turun maka perekonomian negara itu juga turun. Indonesia tidak seperti itu,” tegasnya.

Selain itu, ujarnya, ekspor Indonesia juga bukan dalam bentuk barang manufaktur, tetapi sebagian besar dalam bentuk bahan mentah seperti komoditas batu bara. Harga komoditas diperkirakan masih akan tetap tinggi hingga tahun 2023.

Ditambahkannya, konsumsi tahun 2023 diperkirakan meningkat menyusul pulihnya mobilitas masyarakat karena pandemi telah mereda. Konsumsi akan menjadi modal besar perekonomian di tahun 2023.

“Jadi dengan konsumsi dan investasi yang pulih, saya meyakini Indonesia akan dapat bertahan di tengah krisis global tahun 2023. Namun, yang paling penting bagi saya adalah bagaimana Indonesia memproyeksikan perekonomian tahun 2023,” paparnya. (jpc)

[/membersonly]

Belum berlangganan Epaper? Silakan klik Daftar!

Laman:

1 2
0 Komentar