TASIKMALAYA, RADARTASIK.ID – Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Siliwangi menggelar Diskusi Publik bertema “Menyoal Krisis Pengelolaan TPA Ciangir: Ancaman Nyata bagi Lingkungan dan Kesehatan Tasikmalaya”.
Diskusi yang diselenggarakan pada Selasa (15/4/2025) malam di Pendopo FKIP itu menghadirkan dua pemantik utama.
Yaitu Zulfi Gumilang S perwakilan masyarakat sipil, dan M Rafi Faza, pegiat dari Indonesia Green Movement (IGM). Acara dipandu oleh Bahana Juang, anggota Departemen Pergerakan BEM FKIP UNSIL.
Baca Juga:Dr Lukmanul Hakim Resmi Pimpin STHG Tasikmalaya Periode 2024–2029Ketua DPRD Kota Tasikmalaya Sebut Perampingan Dinas Tidak Tergesa-Gesa!
Dalam pembukaannya, Bahana menyampaikan bahwa diskusi ini merupakan bentuk tanggung jawab moral mahasiswa terhadap krisis lingkungan yang kian memburuk di Kota Tasikmalaya, terutama akibat Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Ciangir.
“Kondisi TPA Ciangir saat ini sudah sangat memprihatinkan. Overkapasitas, tidak adanya sistem pengelolaan modern, hingga pencemaran air dan udara mulai dirasakan warga sekitar. Ini bukan hanya soal sampah, tapi soal hak atas lingkungan yang bersih dan sehat,” ujarnya.
Bahana juga mengajak seluruh peserta yang hadir untuk tidak berhenti pada diskusi semata. Tapi juga menyebarkannya kepada masyarakat luas.
“Kita semua punya tanggung jawab untuk menyebarkan isu ini. Ceritakan kepada teman, kerabat, keluarga—kepada siapa pun. Isu lingkungan di Ciangir adalah soal keselamatan warga dan masa depan lingkungan Tasikmalaya. Kepedulian bisa dimulai dari percakapan sederhana,” tegasnya.
Sepanjang diskusi, para pemantik mengulas dampak nyata pencemaran lingkungan yang berasal dari dua sumber utama: TPA Ciangir dan pabrik daur ulang plastik di wilayah Tamansari. Keduanya disebut telah menyebabkan kerusakan tanah, pencemaran air, serta polusi udara yang berdampak langsung pada warga sekitar.
“Pemulihan ekosistem lingkungan itu sulit, dan saat ini belum ada perda yang berlaku di kota soal perlindungan lingkungan yang tegas. Kita perlu bergerak untuk menyadarkan dan mengingatkan pemerintah. Jangan sampai ikan terakhir ditangkap, pohon terakhir ditebang, baru kita peduli terhadap lingkungan,” ungkap M Rafi Faza.
Zulfi Gumilang menambahkan pentingnya membangun empati dan keterlibatan lintas disiplin dalam menyikapi krisis lingkungan.