Sepak Bola Kemalaman

Sepak Bola Kemalaman
Azrul Ananda
0 Komentar

Senin malam itu, berkat sinetron dan sepak bola, Indosiar ”menang.” Meraih share 18,8 persen. Mengalahkan RCTI (17 persen) dan SCTV (16,9 persen). Jadi, dari kaca mata mereka, wajar kalau sepak bola harus main malam.

Jangan marah ke mereka.

Sekarang, kita mencoba melihat sisi lain keputusan main malam itu. Apakah liga mendapatkan keuntungan tambahan? Rasanya tidak. Karena hak siar sudah dibeli secara gelondongan. Bahkan kontrak ”multiyear” (beberapa tahun) sudah diteken sejak lama.

Maaf, saya ralat. Tidak ada keuntungan tambahan.

Kemudian bicara soal klub. Apakah klub mendapatkan keuntungan tambahan? Rasanya saya tidak perlu menjabarkan terlalu detail. Siapa saja yang punya kemampuan analisa bisnis bisa menghitungnya sendiri.

Baca Juga:Politik Pendatang BaruJual Sabu Pakai Motor Dinas

Satu, klub tidak mendapatkan pemasukan tambahan. Ada janji bonus tambahan dari liga berdasarkan rating. Tapi angka pastinya belum ada. Kalau pun ada, apakah secara overall nilainya mampu menutupi kerugian atau loss opportunity klub? Saya masih menunggu.

Yang pasti, main pagi, siang, sore, atau malam, pendapatan klub dari liga belum terbukti bertambah. Malah, kalau dihitung secara menyeluruh, tiap tahun kok rasanya semakin menurun. Dan saya paling tersinggung kalau pendapatan dari liga itu disebut sebagai ”subsidi/kontribusi”. Karena 18 klub Liga 1 adalah pemegang saham mayoritas liga. Jadi, itu adalah hak komersial. Bukan subsidi/kontribusi.

Saya sudah berkali-kali menulis, di liga yang maju, pemasukan utama klub adalah dari liganya. Liganya pintar mencari pemasukan, menggunakan kekuatan klub-klub anggotanya, yang kemudian mendistribusikan lagi pemasukan tersebut kepada klub-klub anggotanya. Dalam hal ini, shareholder-nya. Karena itu, di liga yang maju, tidak perlu ada banyak logo sponsor di baju. Karena sumber pemasukan utama dari liga. Khususnya dari hak siar.

Di liga kita, nilai ”hak komersial” yang didapatkan klub sangat tidak cukup untuk operasional. Apalagi menggaji pemain yang nilai kontraknya bisa melonjak tanpa kontrol, seperti inflasi yang tidak ada mekanisme pengendaliannya. Klub-klub besar tidak pernah memusingkan ini. Bahkan termasuk berbahaya kalau mengandalkan ini sebagai sumber pemasukan. Tapi, kalau liganya mau sehat, lalu klubnya mau sehat, lalu pemainnya mau sehat, masalah itu tentu harus disehatkan bukan?

0 Komentar