Pemilu 2024 Jadi Keruntuhan Bagi PPP, Hanya Meraih 3,87 Suara Tak Bisa Masuk Senayan

Ppp, pileg 2024, senayan
Logo PPP
0 Komentar

Bahkan, pada Pemilu 2014, PPP Kabupaten Tasikmalaya sukses meraih 9 kursi di DPRD. Namun, pada Pemilu 2019, partai yang didirikan pada Tahun 1973 ini pun mulai terseok-seok. Pada pemilu lima tahun lalu PPP hanya mampu meraih 7 kursi. 

Kemudian, pada hasil Pileg 2024 pun suara PPP kembali meluncur dengan hanya meraih 5 kursi. Hal ini pun semakin memudarkan Tasikmalaya sebagai basis PPP. 

Hasil ini pun menjadi pukulan telak bagi PPP di daerah. Apalagi, beberapa bulan lagi akan diselenggarakan Pilkada Serentak 2024.

Baca Juga:Kadisdik Kota Tasikmalaya Minta Sekolah Perlu Penjagaan 24 JamAktivis Islam di Tasikmalaya Lapor ke Polisi, Kasusnya Ancaman Pembunuhan

Dewan Pakar DPW PPP Jabar Dr H Basuki Rahmat mengatakan, secara nasional pihaknya melihat kemampuan atau daya adaptif PPP terhadap perubahan sosial politik baik secara sosiologi maupun secara psikologis tidak mampu diimbangi oleh PPP,” katanya.

Basuki menyebutkan, diketahui bahwa puncak di Pemilu 2024 kemarin di mana pemilih kalangan milenial itu jumlahnya lebih tinggi. Diakuinya tidak bisa menarik mereka untuk bisa masuk ke PPP. Jadi PPP selama ini hanya mengandalkan pemilih tradisional, pemilih lokal yang mungkin jumlahnya dari pemilu ke pemilu itu berkurang.

Satu sisi pemilih tradisional itu berkurang di sisi lain tidak mampu merekrut pemilih baru. Kenapa? Karena daya adaptasi PPP terhadap pemilih baru ini boleh dikatakan tidak mampu masuk ke isu-isu di kalangan milenial.

“Partai politik yang biasanya mampu mempromosikan ide-idenya tentang kepentingan-kepentingan masyarakat, nah selama ini PPP minim jualan terkait dengan ide-ide yang bisa menarik simpati kalangan milenial,” ucapnya.

Walaupun seperti itu, kata Basuki, secara umum pemilih itu belum masuk ke dalam kategori pemilihan cerdas. Tapi sebagai sebuah partai politik, seyogyanya itu mampu masuk ke dalam wilayah itu. Artinya masuk ke dalam suasana emosional pemilih.

Hal tersebut menurutnya, mudah dibaca dari pemilu ke pemilu itu. Kecenderungan pemilih itu dalam hal menentukan pilihan memang belum ke substansi tapi masih di kerangka-kerangka yang artifisial.

Lanjut Basuki, konflik itu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari politik. Jadi Ia tidak melihat konflik itu sebagai faktor yang memengaruhi. Sebab, partai yang lain yang berkonflik juga mampu menaikkan elektronnya.

0 Komentar