SINGAPARNA, RADSIK – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Ansor meminta Kejaksaan Negeri Kabupaten Tasikmalaya terus mendalami kasus pemotongan Bantuan Hibah Pemprov Jabar Tahun Anggaran 2020. Termasuk pengungkapan temuan-temuan/novum baru dalam kasus tersebut.
“Jangan ada kesan “cuci tangan” dengan menyerahkan perkembangan kasus tersebut terungkap di persidangan. Karena jelas kedua tersangka tersebut pasti melalui serangkaian pendalaman peyelidikan dan penyidikan yang panjang bahkan hampir dua tahun dari Febuari 2021 hingga Desember 2022 dan telah mengalami tiga pergantian kepala Krjari dan tiga kasi Pidsus,” ujar Ketua LBH Ansor Kabupaten Tasikmalaya Asep Abdul Ropik kepada Radar, tadi malam.
Menurut dia, tentunya dari keterangan kedua tersangka tersebut diketahui kronologis, motif serta modusnya dalam menjalankan aksi tersebut dan diketahui pula bahwa mereka bukan “orang hebat” yang memiliki kewenangan dalam alokasi anggaran sebesar itu dari Pemprov Jabar.
Baca Juga:Jangan Beri Uang ke Pengemis dan AnjalSerba Terbatas, Tetap Berprestasi
[membersonly display=”Baca selengkapnya, khusus pelanggan Epaper silakan klik” linkto=”https://radartasik.id/in” linktext=”Login”]
“Tentunya dari keterangan mereka dapat diketahui dari mana sumber anggaran dan siapa “oknum pejabat” yang memiliki atau mendorong anggaran tersebut. Jadi sangat aneh dan menjadi tanda tanya besar apabila kejaksaan tidak dapat mengungkap dari mana dan siapa yang memiliki kewenangan anggaran di tingkat provinsi,” kata dia, menambahkan.
Menurut dia, jika dibandingkan dengan kasus korupsi Bantuan Hibah Pemkab Tasikmalaya Tahun Anggaran 2017 tersangkanya lebih dari lima orang yang salah satunya menyeret mantan sekda sebagai tersangka. “Kemudian kasus korupsi 2018 juga menyeret sembilan tersangka,” ucap dia.
“Sangat aneh tapi nyata, kerugian negara hampir Rp 8 miliar yang bersumber dari APBD Provinsi Jabar hanya “dinikmati” dua tersangka, di mana keduanya bukan siapa-siapa atau dalam artian bukan yang memiliki kewenangan penganggaran. Orang awam hukum pun mereka mengatakan tidak masuk akal,” ucap dia.
Selain itu, pihaknya juga mendorong para tersangka mengajukan upaya juctice collabolator dengan didampingi LPSK sebagaimana diatur dalam SE MA No 4 Tahun 2011, justice collaborator adalah saksi pelaku yang bekerja sama.
“Artinya, dia adalah salah satu pelaku dari tindak pidana korupsi, namun bukan pelaku utama. Dalam aturannya, tersangka pidana korupsi bisa mengajukan diri menjadi justice collaborator dengan persyaratan sebagai berikut: Dia salah satu pelaku tindak pidana korupsi atau pencucian uang, mengakui kejahatan yang telah dilakukannya dan bukan pelaku utama kejahatan tersebut,” ucap dia, menjelaskan.