Gading Wulan

Gading Wulan
Dahlan ISkan
0 Komentar

INI bukan cerita bagi para penggila kuliner. Tidak usah dibaca. Ini khusus bagi jenis orang yang seperti ini: memuliakan tubuh dengan cara yang mulia.

Dia seorang dokter. Spesialis patologi klinis. Namanyi: Wulan. Sudah menjelajah daerah yang paling dihindari seorang dokter baru: Papua. Bukan Jayapura, tapi Wamena. Bukan di Wamena tapi di Kurima. Bahkan bukan di Kurimanya, tapi lebih dalam lagi: di Puskesmas Angguruk.

Pokoknya pedalamannya pedalaman Jayawijaya, Papua Tengah. Itu jauh sekali dari Wamena yang jauh itu. Masih harus naik pesawat kecil 45 menit lagi.

Baca Juga:Kosan Short Time MeresahkanMantan Kadis UMKM Beri Saran

[membersonly display=”Baca selengkapnya, khusus pelanggan Epaper silakan klik” linkto=”https://radartasik.id/in” linktext=”Login”]

Dari sana Wulan pindah ke daerah yang juga tidak diharapkan siapa pun: pulau Rote di NTT.

Tapi Wulan menjalani semua itu dengan bahagia. Begitu tahu akan ditempatkan di Papua, Wulan minta sekalian lokasi yang tersulit dari yang paling sulit.

Tiga tahun Wulan di pedalaman Kurima. Hanya sekali pulang pulang ke Kediri. Saking jauhnya. Dari Kurima, Wulan masih ke daerah terpencil lainnya: di pulau Rote. Dua tahun lagi di sini.

Pilihan hidup Wulan awalnya  ingin jadi arsitek. Sedang ibunyi sangat berharap Wulan jadi dokter. Wulan anak nomor 9 dari 10 bersaudara.

Banyak kakaknya yang sakit-sakitan. Dari situlah keinginan sang ibu lahir. Wulan harus jadi dokter. ”Saya lupakan arsitektur. Saatnya saya menunjukkan bakti ke ibu,” ujar Wulan.

Wulan lulus tes di Universitas Brawijaya, Malang. Tidak terlalu jauh dari ibunyi di Kediri. Setelah kembali dari Rote, Wulan mengambil spesialis patologi. Juga di UB Malang. Di kota Arema itu pula Wulan  mendapat jodoh: dokter spesialis bedah jantung vaskuler.

Baca Juga:Puluhan Perupa Tasik Warnai Akhir PekanRemisi Hanya Untuk Dua Napi

Tapi bukan itu yang akan diceritakan hari ini. Itu tidak penting bagi pembaca yang suka durian. Tidak penting pula bagi yang suka makan Soto Banjar. Bakso Krian. Sate Tegal. Tengkleng Solo. Apalagi Nasi Kapau.

Wulan sendiri akhirnya  menjalani hidup yang sebenarnya tidak dia inginkan: KetoFastosis. Yang awalnya begitu berat.  Semua itu demi kakak nomor 8. Yang hanya beda umur 1,5 tahun. Masih seperti sebaya. Seperti teman sepermainan. ”Saya memang sayang sekali ke kakak nomor 8 itu,” ujar Wulan.

0 Komentar