Mekanisme Tagihan Retribusi Sampah Pasar Cikurubuk Bermasalah, DLH Kota Tasikmalaya Perlu Evaluasi

Retribusi sampah pasar cikurubuk
Petugas melakukan penanggulangan sampah di TPS yang berada di kawasan Pasar Cikurubuk, Rabu (10/12/2025)
0 Komentar

TASIKMALAYA, RADARTASIK.ID – Pola penarikan retribusi sampah untuk kawasan khusus seperti Pasar Cikurubuk dinilai perlu kejelasan administrasi dalam Penentuan Wajib Retribusi (WR). Mekanisme yang saat ini diterapkan dinilai memberi celah kebocoran Pendapatan Asli Daerah (PAD) atau kekeliruan lainnya.

Sebagaimana diketahui, saat ini Dinas Lingkungan Hidup (DLH) melakukan penarikan retribusi sampah di Pasar Cikurubuk terhadap 1 WR sebagai perantara. Namun secara administrasi tidak ada kerja sama yang resmi baik WR yang ditunjuk atau pun dengan pedagang.

Hal itu diungkapkan Ketua Lembaga Penyelamat Lingkungan Hidup LPLHI (LPLHI) Mugni Anwari yang mengatakan bahwa yang memiliki kewajiban membayar retribusi sampah pada dasarnya adalah warga pasar, khususnya pedagang. Ketika pasar ditentukan menjadi kawasan khusus yang dikelompokan, maka penetapan WR harus jelas.

Baca Juga:Tak Ada Karcis, Ganti Kadis! Dishub Kota Tasik Ditantang Simulasikan Pelayanan dan Pembayaran Parkir ProgresifPedagang Pasar Cikurubuk Tasikmalaya Setiap Hari Dipungut Biaya Sampah

“Jadi tidak bisa sembarang menentukan siapa yang bayar (WR), harus secara resmi merepresentasikan warga pasar atau kawasan itu,” ungkapnya.

Saat Pasar Cikurubuk dipegang oleh PD Pasar Resik, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) itu menjadi representasi karena bertanggung jawab secara sah. Ketika saat ini berada di bawah UPTD Pasar Resik, maka seharusnya instansi tersebut yang menjadi fasilitator atau menjadi WR. “Kan yang bisa merepresentasikan para pedagang pasar secara resmi ya UPTD,” ucapnya.

Ketika WR ditentukan sebuah seseorang, komunitas, organisasi atau kelompok, maka harus ada dasar yang secara hukum dan administrasi. Alternatif lainnya yakni memberdayakan pihak ketiga yang juga harus resmi secara kelembagaannya.

“Bisa melalui kerja sama pihak ketiga, atau penguasaan melalui warga dan pengurus pasar tapi harus hitam di atas putih (legalitas),” ucapnya.

Dengan mekanisme yang diterapkan saat ini, Mugni menilai akan memberikan ruang kekeliruan. Karena biaya yang diambil dari pedagang sangat mungkin jauh lebih besar dari kewajiban bayar kepada DLH.

“Ya kan Rp 1.000 kalau dikali 4.000 pedagang sudah Rp 4 juta sehari, dikali sebulan bisa sampai Rp 120 juta, sedangkan yang dibayarkan ke DLH kan katanya hanya sekitar Rp 12 juta,” tuturnya.

0 Komentar