“Jadi sangat keliru menilai pemain hanya dari apakah dia ke klub malam atau tidak,” tegasnya.
Bagi Sabatini, karakter tidak ditentukan dari pertanyaan dangkal seperti seberapa sering seorang pemain keluar malam atau makan pizza setiap hari.
Yang lebih penting adalah integritas dalam kelompok: apakah ia loyal, apakah ia memahami kerja sama, apakah ia rela berlari 40 meter untuk membantu rekan yang salah langkah, atau justru memaki ketika terjadi kesalahan kecil.
“Pesepak bola bukan atlet individual seperti peteninSinner,” tuturnya.
Baca Juga:Kutukan Luka Modric Jelang Laga Kontra Inter Milan: Tak Pernah Cetak Gol dalam DerbySisi Menarik Jelang Duel Fiorentina vs Juventus: Nyonya Tua Habiskan Rp3,74 Triliun untuk Beli Pemain La Viola
“Ia harus hidup dalam kelompok, dan di dalam kelompok itu, kekuatan seseorang ditentukan oleh ribuan perilaku kecil yang tidak akan pernah bisa dibaca oleh data,” pungkasnya.
Meski tidak menolak penggunaan teknologi, Sabatini tetap menempatkan intuisi dan mata seorang pemandu bakat sebagai fondasi utama.
Baginya, data bisa menceritakan sesuatu dalam angka dan pola, tetapi tidak pernah bisa menjelaskan kualitas sesungguhnya dari seorang pemain.
Komentar Sabatini menjadi pukulan telak bagi tren sepak bola modern yang tengah memuja big data.
Sabatini menunjukkan bahwa pengalaman puluhan tahun di lapangan hijau tetap punya tempat, meski dunia semakin berlari ke arah digital.
