TASIKMALAYA, RADARTASIK.ID – Minat baca masyarakat Kota Tasikmalaya saat ini berada pada kategori sedang.
Hal itu tercermin dari nilai Indeks Pembangunan Literasi Masyarakat (IPLM) 2024 yang berada di kisaran 72,84 poin.
Skor ini menandakan geliat literasi di Kota Tasikmalaya belum tumbuh merata di semua lapisan masyarakat.
Baca Juga:Antisipasi Situasi Keamanan, Sekolah Madrasah Belajar Daring Selama 2 HariFix! Empat Anggota DPR RI Ini Dicopot Mulai Hari Ini: Uya Kuya, Nafa Urbach, Eko Patrio dan Ahmad Sahroni
Menurut pegiat literasi sekaligus akademisi Susan Nurhayati SPdI MPd, kondisi tersebut dipengaruhi oleh sejumlah faktor mendasar. Salah satunya keterbatasan akses terhadap bahan bacaan.
Susan menilai, koleksi buku di perpustakaan umum maupun pojok baca komunitas masih jauh dari ideal. Bahkan, masih banyak kelurahan di wilayah Kota Tasikmalaya yang belum memiliki perpustakaan.
“Akibatnya kebutuhan literasi warga tidak bisa sepenuhnya terpenuhi,” ujarnya.
Harga Buku Jadi Kendala
Selain minimnya ketersediaan buku, faktor harga juga menjadi persoalan.
Harga buku baru yang relatif mahal membuat masyarakat —terutama kalangan menengah ke bawah— sering kesulitan membeli bacaan sesuai minat maupun kebutuhan mereka.
“Buku bukan lagi kebutuhan pokok bagi banyak keluarga, tapi dianggap barang mewah. Padahal, buku adalah jendela ilmu yang seharusnya mudah dijangkau oleh semua lapisan masyarakat,” kata Susan.
Menurutnya, keterbatasan koleksi dan kendala harga buku ini berimbas langsung pada budaya literasi.
Upaya peningkatan minat baca berjalan kurang optimal karena masyarakat tidak mendapat bahan bacaan yang cukup, berkualitas, sekaligus terjangkau.
Baca Juga:MBG di Tasikmalaya Terus-terusan Gaduh, Ini Peran Penting Pemerintah Daerah Menurut BGNDLH Kota Tasikmalaya Gencarkan Patroli TPS Liar, Ajak Warga Sadar Membuang Sampah!
Padahal, data menunjukkan masyarakat Kota Tasikmalaya sebenarnya punya kebiasaan membaca yang tinggi.
Indeks Tingkat Gemar Membaca (TGM) berada di level tinggi dengan skor 82,09.
Warga tercatat membaca lebih dari enam kali per minggu, dengan durasi dua hingga tiga jam per hari.
“Artinya, minat ada, tapi sarana dan bahan bacaan belum mendukung,” jelas Susan.
Untuk itu, ia menekankan perlunya dukungan lebih luas dari berbagai pihak —pemerintah daerah, lembaga pendidikan, hingga komunitas literasi— agar akses buku lebih merata.
“Harus ada terobosan bersama. Misalnya, memperbanyak perpustakaan kelurahan, memperkuat pojok baca komunitas, atau menghadirkan program subsidi dan donasi buku agar masyarakat bisa mendapatkan bacaan dengan harga terjangkau,” tambahnya.