RADARTASIK.ID – Ketika Gerry Cardinale mendarat di Milan pada Mei 2022, Rossoneri baru seminggu merengkuh gelar Serie A yang ke-19.
Milan saat itu sedang berada di puncak, menutup musim dengan kemenangan dramatis atas Inter dalam perebutan Scudetto.
Namun, dua tahun berselang, harapan besar yang mengiringi kedatangan Cardinale nyaris hilang di telang angin.
Baca Juga:Italian Connection: Rahasia Kesuksesan Inter Milan yang Harus Ditiru JuventusDerby AC Milan vs Inter U-16 Ricuh, 5 Pemain Kena Sanksi
Yang tersisa hanyalah deretan statistik yang menyakitkan dimana Milan semakin tertinggal dari musuh abadinya Inter Milan yang kini lolos ke final Liga Champions.
Di awal kedatangan Cardinale, Milan kalah dalam dua laga derby tanpa perlawanan berarti di Liga Champions.
Hal ini berlanjut dengan enam kekalahan beruntun dari Inter di semua ajang, tertinggal 20 poin dari sang rival musim lalu, dan kini tercecer di papan tengah klasemen.
Sementara Inter berada di jalur juara Serie A dan kembali bersaing di Eropa, Milan justru tenggelam dalam inkonsistensi dan keputusan manajerial yang meragukan.
Proyek RedBird di bawah kendali Cardinale tampaknya dibangun lebih sebagai entitas investasi daripada klub sepak bola.
Ketimbang membangun fondasi yang kuat di lapangan, fokus justru teralihkan pada model bisnis, pencitraan merek, dan pendekatan statistik semata.
Strategi ini mungkin efektif di dunia korporat Amerika, tapi gagal memahami akar dan jiwa klub sebesar Milan.
Baca Juga:Claudio Beneforti: Duel AC Milan vs Bologna Mirip Laga Inter vs BarcelonaFranco Ordine Minta Manajemen AC Milan Belajar ke Inter: Sulit Bersaing Jika Bisnis Inti Klub Bukan Prestasi
Milan jelas bukan perusahaan rintisan. Klub ini dibentuk oleh sejarah, dibesarkan oleh identitas, dan disokong oleh gairah suporternya.
Sayangnya, dalam dua tahun terakhir bersama Cardinale, Milan justru makin kehilangan arah.
Nama-nama seperti Paolo Maldini tersingkir, sementara keputusan transfer kerap tak selaras dengan kebutuhan tim.
Hasilnya? Sebuah skuad yang tidak seimbang dan pelatih yang tampak kehabisan ide.
Harapan tersisa di musim mungkin hanya di Coppa Italia yang bisa membawa mereka ke kompetisi Liga Europa.
Namun, andai berhasil menjuarai turnamen itu, rasanya tak cukup untuk menebus musim yang mengecewakan.
Piala tersebut hanya akan menjadi penghibur sesaat. Yang lebih mendesak adalah evaluasi menyeluruh: dari manajemen puncak hingga filosofi klub.
Ironisnya, di tengah keterpurukan Milan, Inter justru menjadi contoh terbaik bagaimana sebuah proyek dikelola dengan sangat baik.