“Apakah kita butuh lebih banyak Milanisme? Kita sudah punya satu, namanya Paolo Maldini. Sebagai manajer, ia memenangkan liga dan mencapai semifinal Liga Champions. Tapi kemudian dia dipecat, dan bersamanya hilang juga semangat yang besar,” paparnya.
Leonardo percaya bahwa keputusan untuk memecat Maldini adalah kesalahan besar yang akhirnya disadari oleh klub.Ia merasa Milan kehilangan jati dirinya sejak kepergian Maldini yang membuat klub kehilangan arah.
Namun, ia tetap optimis bahwa Milanisme akan kembali, seiring waktu dan kesadaran manajemen bahwa jiwa klub tidak bisa dipisahkan dari orang-orang yang telah membangunnya.
Baca Juga:Kekhawatiran Paolo Maldini Jadi Kenyataan: Pendukung AC Milan Makin Sulit ke San SiroRaphinha Panaskan Duel Argentina vs Brasil: "Jika Perlu, Kami Akan Mengalahkan Mereka di Luar Lapangan"
“Hari ini semua orang melihatnya—Milan kosong, tanpa jiwa. Tapi ini adalah siklus, dan itu akan berlalu. Saya pikir klub akhirnya menyadari bahwa mereka telah membuat kesalahan,” jelasnya,
Leonardo mengaku cukup beruntung bisa bermain dengan banyak legenda sepak bola yang memiliki peran besar dalam membentuk identitas klub, baik di Milan maupun klub lain yang pernah ia bela.
“Saya cukup beruntung bermain di Flamengo, yang memenangkan segalanya. Zico adalah simbol di sana—seorang juara yang rendah hati dan menjadi inspirasi bagi semua orang,” ucapnya.
“Saya juga bermain di São Paulo, di mana kami memiliki kepastian indah dengan legenda seperti Telê Santana di bangku cadangan,” sambungnya.
Leonardo menutup wawancaranya dengan mengenang perjalanannya di Piala Dunia, termasuk insiden kartu merahnya di 1994 dan kekalahan Brasil di final 1998 usai Ronaldo sakit setelah makan siang.
“Pada tahun 1994, saya dikeluarkan di perempat final dan tidak seorang pun menyangka kami akan menang. Tapi perjalanan pulang ke Brasil terasa seperti karnaval yang tak berakhir,” tuturnya.
“Pada 1998 di Prancis, kami mencapai final, tapi Ronaldo sakit saat makan siang sebelum pertandingan, dan kami kalah 3-0,” pungkasnya.