Namun, meskipun ada optimisme yang tinggi di kalangan pemegang Bitcoin, korelasi antara Bitcoin dan saham AS telah menguat dalam beberapa minggu terakhir, yang menandakan bahwa Bitcoin mungkin tidak lagi bertindak sebagai ”emas digital.”
Para ahli berpendapat bahwa Bitcoin saat ini lebih berisiko dalam jangka pendek, dengan harga yang dipengaruhi oleh perdagangan jangka pendek.
Meski begitu, dalam jangka panjang, Bitcoin masih dianggap sebagai tempat penyimpanan nilai yang aman karena batas pasokan yang dapat diverifikasi dan utilitas globalnya.
Baca Juga:Sudah Masuk ke Rekening, THR ASN Cair Rp 9,36 Triliun, Pensiunan Rp 11,5 Triliun, Cek! Impor Indonesia Februari 2025 Melonjak, Apa yang Mendorong Kenaikannya?
Menurut penulis buletin Crypto Is Macro Now, Noelle Acheson, meskipun pasar saat ini cenderung lebih konservatif dan mengurangi posisi berisiko, aliran masuk ke pasar kripto kemungkinan akan dilanjutkan ketika pasar menyesuaikan diri dengan lanskap ekonomi yang baru.
Hal ini didukung oleh penyebaran edukasi, layanan institusional baru, serta perkembangan kerangka regulasi di berbagai negara yang akan meningkatkan kenyamanan bagi institusi dan ritel mainstream.
Kesalahan Penilaian terhadap Stagflasi
Markus Thielen, pendiri 10x Research, menawarkan pandangan yang sedikit berbeda, dengan mengatakan bahwa pasar mungkin keliru dalam menilai situasi ini sebagai stagflasi.
Menurutnya, yang terjadi adalah dampak dari tarif yang diterapkan yang menyebabkan lonjakan sementara dalam permintaan komoditas, namun hal ini diperkirakan akan mereda dalam beberapa bulan mendatang.
Selain itu, ketidakpastian mengenai mata uang kripto seperti DOGE juga berpengaruh pada ekspektasi pertumbuhan.
Thielen juga mencatat bahwa jika The Fed mengeluarkan pernyataan dovish (bersikap merpati) dalam waktu dekat, ini dapat menghidupkan kembali suasana bullish pada aset berisiko, termasuk Bitcoin.
Ia mencatat bahwa kebijakan perdagangan Trump yang cenderung lebih lunak, ditambah dengan potensi kebijakan yang lebih dovish dari The Fed, bisa membuka jalan bagi rebound pada aset-aset berorientasi pertumbuhan.
Baca Juga:Ekspor Indonesia Februari 2025: Tren Positif Berlanjut, Jabar Pengekspor Terbesar, Tiongkok Tujuan No 1Inter Catat Rekor Luar Biasa, Simone Inzaghi Berani Hadapi Kritikan
Namun, ia juga menegaskan bahwa bertaruh pada stagflasi jangka panjang tidak selalu menjadi strategi yang menguntungkan, berdasarkan data historis selama 40 tahun terakhir.
Dengan ketidakpastian yang masih tinggi dan berbagai faktor yang mempengaruhi pasar, masih belum jelas arah ekonomi global ke depannya.