TASIKMALAYA, RADARTASIK.ID – Polemik mengenai pendirian pabrik daur ulang plastik di zona hijau tanpa dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan perizinan bangunan (PBG) serta Sertifikat Laik Fungsi (SLF) terus bergulir.
Meski demikian, Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (DPUTR) Kota Tasikmalaya telah memutuskan melalui Forum Tata Ruang bahwa perusahaan tersebut masih memiliki kesempatan menempuh perizinan.
Hal ini didasarkan pada ketentuan dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 (Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law), yang memungkinkan pelaku usaha menempuh perizinan bahkan setelah usaha mereka berdiri.
Baca Juga:Inilah Khasiat Daun Kelor yang Membuatnya Sangat Mahal di Eropa, Hanya Orang Kaya Mampu BeliMomen Penuh Keakraban, Perayaan 5 Tahun Honda ADV Club Karawang yang Tak Terlupakan
Namun, keputusan tersebut menuai kritik dari berbagai pihak, termasuk Randi Muchariman SIP MA, Dosen Politik Lingkungan Universitas Siliwangi.
Menurut Randi, regulasi tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang menempatkan perlindungan lingkungan sebagai prioritas sebelum pengelolaan dimulai.
“Jadi persoalan ada di peraturan kita juga. Ada peraturan yang harusnya dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK) atau Mahkamah Agung (MA), karena dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Lingkungan. Kan tujuan Undang-Undang Lingkungan melindungi dulu sebelum mengelola. Sekarang kebalik, yang penting kelola dulu, setelah dikelola baru dilindungi,” ujar Randi.
Ia menegaskan bahwa paradigma ini bertentangan dengan logika perlindungan lingkungan.
“Awalnya kan harus dipastikan dulu lingkungan terlindungi baru boleh dikelola. Tapi ada peraturan di bawah undang-undang yang justru membalik cara berpikir ini,” tambahnya.
Randi juga menyoroti aspek etika dalam perizinan lingkungan. Menurutnya, meskipun ada celah hukum yang memungkinkan praktik ini, penggunaan celah tersebut tidak sesuai dengan etika lingkungan.
“Secara hukum, celah itu ada. Tapi secara etika, selayaknya kita tidak memanfaatkan celah itu. Etika lingkungan harus menjadi pegangan, apalagi dalam konteks pelestarian alam,” jelasnya.
Randi kemudian mengaitkan pandangannya dengan kearifan lokal masyarakat Sunda. Masyarakat dahulu biasanya menanam dulu baru kemudian menebang.
Baca Juga:Cegah Perkampungan Sepi Seperti di Jepang dan Korsel, Pemerintah Dorong Warga Hidupkan DesaMAN 1 Tasikmalaya Gelar Seleksi KSM dan OSN untuk Cetak Siswa Berprestasi
“Dulu itu, orang Sunda kalau mau menebang pohon harus menanam dulu. Kini justru kebalik, menebang saja tanpa memikirkan dampaknya. Etika lingkungan seperti itu yang harus kita pahami dan terapkan,” ujarnya.