TASIKMALAYA, RADARTASIK.ID – Warga korban pencemara air di sekitar TPA Ciangir, khususnya mampung Sinargalih kelurahan Tamansari, mulai putus asa dan kecewa dengan sikap pemerintah.
Mereka tak bisa lagi berharap pada siapapun mengenai pencemaran lingkungan yang telah menimbulkan penyakit gatal-gatal itu.
Pemerintah Kota Tasikmalaya yang menjadi tumpuan akhir akan penyelesaian masalah tersebut, hingga kini belum juga mengambil langkah konkret.
Baca Juga:Koperasi SB Sekarat, Uang Rp 90 Juta Tak Tahu KemanaAnggota DPRD Kota Tasik Ini Sebut Kebijakan Kenaikan Gaji Guru Dinilai Masih Kurang Fair!
Dalam wawancara terakhir dengan Radartasik.id pekan kemarin, Pj Wali Kota Tasikmalaya, Asep Sukmana, mengaku belum mendapatkan laporan dari bawahannya mengenai update terbaru kasus pencemaran di Tamansari.
“Saya belum dapat informasi, nanti dicek dulu ya. Nanti kalau sudah akan saya sampaikan,” ujarnya saat ditemui usai memeriksa kualitas beras di Gudang Bulog pada Kamis 12 Desember 2024.
Ungkapan Asep itu mendapat respon beragam dari masyarakat. Termasuk warga yang menjadi korban pencemaran air d Tamansari.
Mereka berpendapat bahwa sebagai pimpinan, Asep seharusnya punya inisiatif untuk menggali sendiri persoalan itu. Tidak perlu menungu laporan lebih lanjut dari bawahan.
Sebab gambaran secara umum telah diketahui oleh pria yang semula menjabat kadispora Provinsi Jawa Barat tersebut.
“Kami kecewa. Harusnya Pak Asep segera turun langsung ke Tamansari, melihat kondisi pencemaran lingkungan di sini. Warga sudah lama mengeluhkan ini, tapi belum ada tindakan konkret,” ujar seorang warga Tamansari yang enggan disebutkan namanya.
Asep sendiri, sejak awal menjabat, sibuk menghadiri berbagai kegiatan yang bersifat seremonial, seperti bertemu komunitas, melayani audiensi tokoh masyarakat, dan membuka berbagai acara formal lainnya.
Baca Juga:7 Aplikasi Berbasis AI yang Cocok untuk Edit Video dengan Cepat dan MudahUBK Tasikmalaya Edukasi Remaja tentang Pencegahan Kanker Serviks
Sementara, warga sendiri tak menafikan bahwa mereka sempat merasa takut untuk berbicara kepada public perihal pencemaran itu.
Seperti: takut ditandai, didatangi, bahkan takut tidak diberikan bantuan. Rasa takut ini muncul seiring dengan berulang kali terjadinya pencemaran terhadap air di lingkungan mereka. Konflik ganti rugi jadi satu alasannya.
“Ya aya sieun, bisi dicirian, bisi teu dipasihan ganti rugi. Ibaratna hoyong bersuara ngan panginten sorana alit teuing. Duka dugi duka kabujeung kapotong. Ya harapan kami ada yang bisa mencegah ini kejadian lagi bukan cuma ganti rugi,” imbuh warga lainnya.