TASIKMALAYA, RADARTASIK.ID – Perlindungan hukum terhadap guru dinilai merupakan hal vital dan perlu direalisasikan. Langkah itu bisa menjadi salah satu pencegah generasi cengeng dan lembek.
Akademisi Institut Agama Islam (IAI) Tasikmalaya Dr Ajang Ramdani sangat sepakat soal regulasi perlindungan hukum untuk guru. Karena faktanya, tidak sedikit guru yang berhadapan dengan hukum ketika mendidik siswa yang bermasalah.
Ajang mengatakan bahwa guru yang memperlakukan siswanya tidak baik memang tidak boleh dibiarkan. Namun dia cukup miris ketika muncul kejadian guru yang dipolisikan bahkan dipenjarakan karena memberikan sanksi kepada siswa yang bermasalah. “Selama sanksi kepada siswa itu dalam batas wajar dan mendidik, kenapa harus dipersoalkan,” ungkapnya.
Baca Juga:Santri Berbaris Untuk Yanto-Aminudin, Siap Tancap Gas Yakinkan Masyarakat Pilih Nomor 5Datangi Desa Langganan Banjir di Tasikmalaya, BMS Diminta Bantu Petani
Undang undang nomor 14 tahun 2005 sudah mengatur perlindungan hukum bagi guru yang diperkuat Permendikbud no 10 tahun 2017. Di situ tercantum perlindungan hukum bagi pendidik dan tenaga kependidikan mencakup terhadap tindakan kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, dan perlakuan tidak adil. “Baik yang dilakukan oleh oleh peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, maupun pihak pihak lainnya,” imbuhnya.
Kendati demikian, faktanya undang-undang tersebut belum terealisasi di akar rumput sehingga guru seolah berada di ujung tanduk. Maka dari itu perlu dikuatkan di daerah, termasuk melalui Perda atau Perwalkot. “Pandangan yang terjadi kalau ada masalah tetap guru yang disalahkan, karena yang diperhatikan hanyalah kondisi siswa baik dari segi hukum atau psikologinya” katanya.
Jika ke depannya guru menjadi semakin khawatir dengan jerat hukum ketika mendidik, maka bisa membangun sikap yang apatis. Pada akhirnya siswa tidak terdidik akhlak dan karakter, dan rawan secara mental karena seakan dimanja. “Ketika siswa tidak didik menjadi pribadi yang tangguh, lahirlah generasi cengeng,” ujarnya.
Menurutnya, siswa tetap harus diperkenalkan dengan kehidupan yang keras untuk menempa mental mereka. Namun bukan berarti menggunakan cara kekerasan, apalagi menimbulkan luka serius karena hal itu pun akan keliru. “Mendidik dengan keras, tapi bukan dengan kekerasan,” terangnya.