Dalam pementasan itu ada elemen kebingungan anak yang meski terkesan naif, namun memunculkan pertanyaan kritis tentang dunia dan peran Indonesia di dalamnya. AB menjelaskan, dialog anak yang sering memadukan humor dengan pertanyaan-pertanyaan eksistensial, misalnya tentang agama, sejarah, atau kematian. Ini menunjukkan cara cerdas untuk mengkritik pola pikir yang sering ditemui di masyarakat.
“Kalimat-kalimat seperti “apakah kita harus mati dulu untuk ke surga?” atau “kenapa otakku sedikit, ibu?” menyentil berbagai aspek kehidupan dengan cara yang ringan namun mendalam,” sebutnya.
Hubungan antara ibu dan anak yang diwarnai dengan keingintahuan dan tanggapan lucu, mencerminkan hubungan antar generasi yang khas. Ibu mencoba memberi nasihat dengan mencampurkan pandangan tradisional dengan nilai-nilai modern, seperti bahasa Inggris, pendidikan, dan teknologi.
Baca Juga:Yusro VS Idaman Berebut Restu H Syarif Hidayat, Keduanya Mengaku Punya Hubungan Emosional!Istri H Amir Mahpud Turun Gunung, Bentuk Relawan Perempuan Prima Berkah, Fokus Bantu Program Stunting!
Di sisi lain, penampilan ini memberitahu kita soal sikap toleransi dan saling memahami. Terekam saat sang ibu berbicara melalui telepon, “Ayah kalau pulang mampir ke apotek ya. Belikan Alprazolam”.
Sekejap ruangan menjadi gelap. Pergantian peran antara ibu dan anak pun terjadi. Tetapi, karakter mereka tetap sama, saling memahami kekurangan mereka.
Alprazolam adalah obat penenang untuk mengatasi gangguan kecemasan dan gangguan panik.
Obat itu juga yang kerap dikonsumsi pengidap gangguan Bipolar.
AB menyebut obat itu jadi titik penjelas makna teater yang ditayangkan selama hampir dua jam tersebut.
Secara umum pertunjukan digelar pada Jumat (20/9/24) di Studio Ngaosart, dengan lebih dari 40 tiket terjual. (Ayu Sabrina)