Dagang Sabtu-Minggu, Pedagang Dadaha Mulai Keluhkan Omset

Pedagang kaki lima kawasan Dadaha
Boneka milik pedagang Pasar Kojengkang menumpuk di trotoar Dadaha pada Minggu 4 Agustus 2024. (Ayu Sabrina/Radartasik.id)
0 Komentar

TASIKMALAYA, RADARTASIK.ID – Persoalan Pedagang Kaki Lima (PKL) bukan hanya terjadi di kawasan pedestrian Cihideung. Kawasan Dadaha juga memiliki masalah nyaris serupa. Bedanya, area pejalan kaki yang digunakan PKL Dadaha adalah trotoar, bukan kawasan andesit seperti Cihideung.

Sudah satu bulan ini para PKL Dadaha hanya berjualan di trotoar pada hari Sabtu sore dan Minggu. Sedangkan hari-hari biasa mereka jualan di dalam area parkir Gedung Generasi Muda (GGM) dan Gedung Creative Center (GCC).

Belakangan, mereka mengeluh bahwa pola seperti itu ternyata mengurangi omset penjualan. Sedangkan para PKL sendiri sebelumnya telah sepakat menerapkan pola tersebut sambil menunggu kebijakan lain. Mereka masih nanti bertemu langsung dengan Pj Wali Kota Tasikmalaya, Dr Cheka Virgowansyah, untuk menyampaikan unek-unek.

Baca Juga:Menanti Manuver Azies Rismaya Mahpud Jelang Masa Injury Time di Pilkada Kota Tasikmalaya!Viman Alfarizi Bicara soal Terbengkalainya Terminal Indihiang dan Money Politics di Pilkada 2024!

“Belum. Malahan kami sedang menunggu, sambil mengclearkan dampak-dampak dari pedagang informal,” kata Ketua Forum Koordinasi Pengelolaan Dadaha Tasikmalaya (Forkopdatas), Ade Cundiana, kepada Radar, Minggu 4 Agustus 2024.

Sementara itu, berdasarkan keterangan salah seorang pedagang Pasar Kojengkang, pada hari Minggu mereka juga masih membayar retribusi berkarcis seperti sebelumnya. Mereka malahan menyebut Pemerintah Kota Tasikmalaya seharusnya berterima kasih dengan kehadiran mereka.

“Justru kami yang buat banyak pengunjung ke sini. Perputaran uang terjadi di sini. Karena orang-orang sudah tahu, Minggu itu (pengunjung, red) gak datang cuma untuk olahraga, tapi ya belanja, jajan juga,” kata pria penjual bantal yang meminta namanya dirahasiakan.

Seharusnya, lanjut dia, jika mereka tak boleh berjualan maka mereka juga tak seharusnya dimintai uang. Hal ini kemudian yang dikeluhkan pedagang seolah pemerintah tidak fair terhadap kebijakannya sendiri.

 “Kita tertib kok bayar. Harusnya kalau tidak boleh, ya pas kita ke sini gak dimintai uang dong. Ada info sebelumnya gitu harusnya,” lanjut dia.

Di sisi lain, Siti (41) penjual buah dan sayuran di Kojengkang itu, merasa bersyukur masih bisa berjualan di sana. Ia berharap penggusuran tidak akan pernah terjadi.

“Ah enggak alhamdulillah masih bisa berjualan di sini. Ya kalau denger kabar gitu ya kalau bisa enggak ya. Di sini sudah biasa soalnya,” ujarnya. (Ayu Sabrina)

0 Komentar