Tikar Mendong Tergerus Mode dan Zaman
Dahulu, setiap rumah di Singkup, Purbaratu setidaknya memiliki satu mesin tenun.
Namun kini, keberadaan mesin usang itu bisa dihitung jari.
Bukan hanya karena sudah tidak diminati, tetapi harga mesinnya yang menjadi mahal dan rumput liar mendong yang semakin sulit untuk diproduksi.
”Dulu juga sampai ada yang beli ke Malang, saking susahnya kita di sini nemu rumputnya,” kata Akrom.
Baca Juga:Sekda Kota Tasik Minta Program Kepemudaan Mengutamakan Manfaat untuk MasyarakatPKS Pastikan Tetap Dalam Koalisi Perubahan, Netizen: Kemungkinan Gabung Prabowo
”Pabrik ini kan sudah besar, tapi ini juga pernah beli Mendong-nya dari Malang, saking gak adanya di sini,” timpal Nur.
Meski bukan menggunakan lahan produktif di Purbaratu, Akrom menerangkan dengan kondisi iklim kering saat ini sulit mendapatkan mendong yang melimpah.
Dari kelihaian tangannya itu, ia mendapatkan bayaran Rp45.000 per tikar.
”Sekarang mah bahan bakunya mahal, kadang ada laku ada enggak. Itu juga hitungan kalo perhari saya gak untung,” kata Akrom.
Tikar Mendong memang masih laku di pasaran, tetapi kebanyakan sudah diinovasi menjadi barang lain.
Hal ini dilakukan untuk bisa terus melestarikan kerajinan tangan mendong, dengan tetap bisa eksis di pasar nasional maupun global. (mg3)