Asri berhasil melepaskan diri dengan cepat dari terkaman sang predator kedua. Namun betis kanan Asri robek. Begitu juga tangan kanannya yang digigit buaya pertama. âIni (digigit buaya) sudah waktunya mungkin,â ujarnya.
Menurut Asri, ada tujuh warga yang menyaksikan dia diterkam buaya saat ritual. Namun mereka tidak bisa menceburkan diri menolongnya apalagi di malam hari. Warga yang menjadi saksi itu langsung menolongnya untuk dibawa ke rumah sakit. âSaya satu bulan dirawat di rumah sakit,â ujar pria berusia 70 tahun itu.
Kepala Kampung Dumaring Salehuddin menceritakan ketika diterkam buaya, Asri tampak dibawa ke dalam air lalu muncul lagi kepermukaan. âSongkoknya (kopiah yang dipakai Asri, Red) muncul. Tiba-tiba pak puk pak puk,â tuturnya.
Setelah berhasil lepas dari terkaman buaya pertama, menurut Salehuddian, Asri sempat berenang ke tepi. Namun, tiba-tiba diseret lagi. âDua kali dia (diterkam buaya,â ujarnya.
Baca Juga:Siswa-Siswi SMAN 11 Berau Antusias Ikuti Lomba Sayembara Karya dan Video Kreatif tentang Peduli LingkunganPara Pelajar SMAN 11 Berau Diajak Peduli Lingkungan melalui Lomba Sayembara Karya dan Video Kreatif
Dia menyebut Asri menyatakan bahwa buaya yang menerkamnya itu ada dua. Namun, warga yang menjadi saksi di Sungai Bakil saat itu tidak bisa melihat dengan jelas. Lantaran malam hari. âKita hanya teriak-teriak saja (ketika Asri diterkam buaya),â kata Salehuddin.
Salehuddin mengatakan Sungai Bakil memang tempatnya para buaya. Masyarakat Kampung Dumaring juga sudah tahu dan jarang melaksanakan aktivitas di sana kecuali ketika melaksanakan ritual adat.
Menurut Salehuddin, masyarakat meyakini bahwa peristiwa yang menimpa Asri saat ritual itu karena ada syarat-syarat tertentu yang tidak lengkap. Setelah dicek, memang ada satu sesaji yang tidak ada. Yaitu padi yang digoreng. âJuga ternyata masih ada warga yang panen (belum selesai) saat itu,â ujarnya.
Peristiwa yang menimpa Asri pada Mei 2021 tidak menghentikan tradisi ritual adat di Sungai Bakil. Di tahun-tahun berikutnya Asri tetap menjalankan ritual itu. âIni karena sudah tradisi leluhur,â tutur Salehuddin. (*)