Kementerian Kesehatan memutuskan untuk membangun RS vertikal di situ. Besar sekali. Modern sekali. Tiga tower. Masing-masih berkapasitas sekitar 230 tempat tidur.
Tiap tower beda spesialisasi. Ada tower untuk jantung. Ada tower untuk otak/stroke. Ada tower untuk kanker. Ini seperti gabungan RS Harapan Kita, RS Pusat Otak Nasional (PON) dan RS Dharmais. Tiga-tiganya di Jakarta.
Fasilitas untuk tiga jenis penyakit itu disiapkan yang terbaik di dunia saat ini. Mulai dari alat-alatnya sampai ruangan dan teknologinya. MRI-nya, misalnya, yang kelas 3 Tesla. Memang RS baru punya keuntungan tersendiri: bisa membeli peralatan yang terbaru.
Baca Juga:Bukan Hanya Menolong, Donor Darah Sehatkan MasyarakatJaring Calon Wirausaha Baru di Cineam
”Pertengahan 2024 RS vertikal ini sudah harus jadi. Bapak Presiden Jokowi yang akan meresmikannya,” ujar Budi Gunadi Sadikin, menteri kesehatan yang melakukan groundbreaking kemarin.
Biaya pembangunannya mencapai Rp 1,4 triliun. Belum termasuk peralatan yang mutakhir. Bagian depan RS Kulit dan Kelamin dipertahankan sebagai cagar budaya. Bisa untuk museum kesehatan.
Menkes akan membangun RS Vertikal di banyak daerah: Kupang (NTT), Jayapura (Papua), Ambon (Maluku), Makassar, dan Bangka. ”Agar tidak semua RS Vertikal menumpuk di Jakarta,” ujarnya.
Melihat gambar RS Tiga Tower itu saya membayangkan tidak akan kalah dengan RS di negara-negara maju. Tentu salah satu tujuannya memang untuk itu: mengurangi warga yang berobat ke luar negeri. Yang kalau ditotal menghabiskan uang lebih Rp 100 triliun/tahun.
Rabu kemarin Menkes juga ke Unair. Ada Dies Natalis ke-68 universitas itu. Menkes pun curhat di forum itu: begitu sulit menambah dokter spesialis di negeri ini. Tiap tahun hanya bisa tambah puluhan dokter. Padahal diperlukan tambahan 3.000 dokter/tahun.
Selesai acara Dies Natalis, menkes makan siang di ruang wakil rektor Unair Djoko Santoso. Rektor Unair Prof Mohammad Nasih juga ikut di ruangan itu. Inilah satu-satunya rektor yang terpilih secara aklamasi. Pun untuk periode keduanya. Ia seorang guru besar akuntansi. Juga seorang ulama.
Di meja makan itu ada bebek sinjay dan sambal kedondongnya. Ada garangan ayam dengan kuahnya. Ada rujak cingur dengan sambal petisnya. Menkes terlihat makan tiga-tiganya. Mulutnya terus mengunyah. Telinganya terus mendengarkan tanggapan para tokoh Unair. Sesekali dahinya mengerut. Sesekali tawanya meledak. Ia dapat dukungan Unair untuk memperbanyak spesialis itu. Sebaliknya Menkes juga mendukung upaya mengatasi kekurangan tenaga di RS Unair –rumah sakit baru di kampus itu yang sifatnya rumah sakit pendidikan.