Pada jenis petani “tidak asli” ini ada beberapa fenomena yang membuat miris. Saya dan rekan melakukan riset di Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Ciamis tentang reproduksi sosial. Penelitian ini menemukenali perubahan kepemilikan, akses terhadap pendidikan dan kesehatan, dan seberapa jauh kontribusi masing-masing anggota keluarga untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga. Riset ini menganalisis proses ekploitasi, akumulasi, dan sosial reproduksi di perdesaan Jawa.
Ketika kita memasuki suatu kawasan perdesaan dan menemukan rumah yang lebih bagus daripada sekitarnya, bisa dipastikan bahwa rumah tersebut dimiliki seseorang yang bukan hanya petani. Bisa jadi dia bertani tapi memiliki profesi lain yang lebih menghasilkan, pengepul, pemilik penggilingan padi, jual beli, dan sektor non pertanian lain. Akumulasi kapital pada sektor agrarian didominasi pedagang dan pemilik lahan pertanian luas. Bentuk-bentuk eksploitasi terjalin dengan hubungan antara modal dan pemilik modal secara umum.
Keterkaitan petani penggarap dengan pemilik lahan jelas kuat. Sistem sewa di dua kabupaten lokasi riset hampir sama : 100 kg gabah kering setiap 50 bata (setara 700 meter persegi) lahan. Sementara sistem bagi hasil antara pemilik lahan dan petani lebih variatif. Di Kabupaten Ciamis pembagian hasil panen antara penggarap dan pemilik lahan 50% namun ada variasi dalam hal menanggung biaya asupan, sebagian ditanggung penggarap, Sebagian ditanggung pemilik lahan, dan ada juga yang dibagi dua. Sementara di Kabupaten Tasikmalaya lokasi riset, bagi hasil adalah 60% untuk pemilik lahan dan 40% untuk petani penggarap dengan beban asupan total ditanggung petani penggarap.
Baca Juga:OPD Baru Segera DibentukWaspada, Jalan Perintis Berlubang
Hasil riset ini menunjukkan betapa kecil kontribusi hasil pertanian dalam memenuhi kebutuhan hidup petani penggarap. Ini tentu berbeda dengan pemilik lahan yang menerima hasil pertanian dan memiliki profesi yang menghasilkan di sektor lain. Memiliki lahan pertanian luas lebih seperti passive income, duduk manis dan uang akan mengalir sebagai keuntungan. Di sisi lain, nilai tanah pun naik dari tahun ke tahun. Ini investasi yang menguntungkan.
Kepemilikan lahan pertanian oleh petani setempat dari tahun ke tahun di dua desa menurun. Riset juga menemukan bahwa kepemilikan lahan pertanian milik penduduk berkurang dari tahun ke tahun, bisa jadi karena diwariskan ataupun dijual untuk memenuhi kebutuhan pendidikan dan kesehatan. Lahan dijual kepada keluarga atau saudara, jika tidak ada yang memiliki uang untuk membelinya, maka dijual kepada pemilik lahan yang berdekatan, biasanya dari luar kampung tersebut. Di Kampung 1, pemilik lahan sebagian besar dari desa yang berdekatan tapi tinggal dan bekerja di Jakarta. Pekerjaan utama mereka bukan petani.