Turunkan Stunting

Turunkan Stunting
stunting
0 Komentar

TASIK, RADSIK – Persoalan stunting memang bukan hanya di Kota dan Kabupaten Tasikmalaya. Kasus penyakit gizi kronis ini menjadi pekerjaan rumah nasional. Jika tak kunjung selesai, stunting bisa mengancam generasi emas yang akan dimiliki Indonesia pada 2045 atau bonus demografi.

Berdasarkan data Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Tasikmalaya, tahun 2020 kasus stunting di angka 7.263. Sedangkan tahun 2021 menurun di angka 6.246 dan tahun 2022 jumlahnya 5.642.

Pj Wali Kota Tasikmlaya Dr Cheka Virgowansyah mengatakan, masalah stunting ini memiliki dua sisi. Dari sisi positifnya, jumlah kasus mengalami penurunan setiap tahunnya. “Tapi di sisi lain masih di atas rata-rata nasional,” ungkapnya.

Baca Juga:Mundur dari PNS, Neng Ida Jadi BacalegKaya Aset

[membersonly display=”Baca selengkapnya, khusus pelanggan Epaper silakan klik” linkto=”https://radartasik.id/in” linktext=”Login”]

Dengan kondisi tersebut pihaknya perlu mengoptmalkan lagi upaya menangani stunting. Dengan harapan ke depannya bisa lebih ditekan lagi. Saat ini tengah melakukan gerakan ASN menjadi orang tua asuh anak penderita stunting. Gerakan ini pun diadopsi dan akan diterapkan di berbagai daerah. “Gerakan orang tua asuh (anak stunting) ini akan jadi gerakan nasional,” tuturnya.

Beberapa waktu sebelumnya, Kepala Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPKBP3A) Kota Tasikmalaya Hj Nunung Kartini mengatakan bahwa gerakan ASN jadi orang tua asuh penyandang stunting sudah mulai berjalan.

Kata dia, pihaknya sudah memetakan pembagian anak untuk setiap OPD. “Variatif jumlahnya bergantung banyaknya pegawai, ada yang 35 ada yang sampai 200,” ungkapnya kepada Radar, belum lama ini.

Dalam gerakan ini fokus pada penderita stunting usia dua tahun ke bawah, yang jumlahnya 1.630 anak. Jumlah tersebut sudah habis terbagi oleh semua ASN yang menjadi orang tua asuh. “Pak Pj juga sudah menginstruksikan untuk bergerak,” katanya.

Fokus penanganan pada bayi di bawah dua tahun (Baduta), karena usia itu lebih potensial untuk didorong tumbuh kembangnya. Untuk anak di atas dua tahun akan ditangani dengan program reguler di DPPKBP3A. “Yang di atas 2 tahun juga masih bisa berkembang, namun lebih berat di banding dua tahun ke bawah,” katanya.

0 Komentar