Tiga Kandidat Diskusi Pilkada, Diky Candra: Sudah Tak Mungkin Jadi Calon Wali Kota Tasikmalaya

Diky Candra
Agus Wahyudin, Diky Candra dan Arif Hidayat Putra saat mengisi acara diskusi yang digelar Komunitas Cermin Tasikmalaya (KCT) Minggu (21/7/2024) malam. (Ayu Sabrina / Radartasik.id)
0 Komentar

TASIKMALAYA, RADARTASIK.ID– Agus Wahyudin, Diky Chandra, dan Arif Hidayat Putra, adu gagasan dalam Diskusi Publik yang digagas budayawan dan seniman dari Komunitas Cermin Tasikmalaya (KCT), pada Minggu malam 21 Juli 2024. 

Selama empat jam ketiganya duduk di atas panggung. Bukan hanya bicara ihwal kebijakan politik yang menyinggung kebudayaan, mereka juga ‘curhat’ soal ketidakjelasan nasib menjelang Pilkada 2024. 

Pada satu jam pertama diskusi itu bertajuk “Ketahanan Budaya versus Kerawanan Sosial” itu, ketiganya fokus membahas tema yang diusung dengan bekal ilmu dan pandangan masing-masing. 

Baca Juga:Ditunjuk Jadi Ketua Kelompok Relawan Ridwan Kamil di Tasikmalaya. Ihsan B Nadirin: Gasssskeunn!Peran KPU dan Bawaslu Nyaris Tak Terdengar di Pilkada Kota Tasikmalaya 2024, Padahal Anggarannya Gemuk!

Sebagai seorang politisi sekaligus akademisi, Agus Wahyudin dengan lihai mengutarakan pemikiran beberapa filsuf dan tokoh politik. 

Seperti ulasan Machiavelli yang mengatakan bahwa kekuasaan memiliki otonomi terpisah dari nilai moral. Kemudian ia juga mengulas soal budaya yang harus dipertahankan. 

“Kalau kita ingin bertahan dengan budaya kita yang bagus dan asli Kota Tasik, ayok mulai kita bangun dari keluarga, komunitas, baru ke wilayah yang lebih tinggi, baru masuk di tingkat kabupaten kota. Regulasinya agak sulit, karena kita sedang bicara sesuatu yang tidak nampak. Baru akan terasa manakala ini dilakukan dengan terencana dan terukur, baru tercapai. Kalau kita artikan secara kesimpulan, membangun ketahanan budaya sama dengan membangun sumber daya manusia, tidak bisa setahun dua thaun. Setidaknya harus 50 tahun,” jelas Agus. 

Demikian dengan Arif Hidayat Putra yang mendeklarasikan diri sebagai perwakilan anak muda. Ia turut menyampaikan perannya dalam ketahanan budaya melalui bahasa. 

Ia mengatakan alasan memberi nama usaha kopinya itu dengan ‘Siloka’ yang berarti peribahasa. 

Sebab menurutnya, awal ketahanan budaya dimulai dari pandai bertutur kata sesuai kebudayaan sebagai ciri khas. 

“Memperkenalkan budaya, kini bisa dengan kegiatan lain yang bisa dilakukan namun dengan unik dan strategik. Diberikan ruang-ruangnya untuk generasi muda. Kegiatan pagelaran tidak hanya digelar saja, tapi bisa meningkatkan nilai kebudyaan dan ekonomis. Perlu pemerintah hadir, harus di ruang-ruang komunitas. Contohnya acara-acara seperti ini. Dengan meningkatnya tingkat budaya di Kota Tasik bisa mendorong pariwisata hingga kebangkitan ekonomi,” kata Arif.

0 Komentar