Sobekan Irawan

Sobekan Irawan
Dahlan ISkan
0 Komentar

DALAM perjalanan ke kelenteng Gudo, Jombang, kemarin saya buka email dari Amerika. Pengirimnya teman lama: drg Irawan. Dari Los Angeles.

Dari emailnya itu terlihat Irawan lagi gatal-jari: ia menulis panjang. Soal lead. Sebagai dokter gigi lulusan Amerika ia banyak berurusan dengan lead: ia punya majalah di Amerika. Namanya:  Indonesia Media. Berbahasa Indonesia. Terbit sebulan dua kali. Tulisan saya sering muncul di majalahnya itu.

Irawan sudah menjadi warga negara Amerika. Rumahnya besar dan bagus. Saya pernah tidur di rumah itu. Saya harus menjelaskan kepadanya: lead bukanlah judul. Lead adalah kalimat pertama, atau alinea pertama dalam sebuah tulisan. Khususnya tulisan yang bersifat jurnalistik.

Baca Juga:Tagana Kawal Pemulihan Korban Gempa CianjurCari Data Riil, Daftar Pemilih Diverifikasi

[membersonly display=”Baca selengkapnya, khusus pelanggan Epaper silakan klik” linkto=”https://radartasik.id/in” linktext=”Login”]

Email drg Irawan itu menarik. Maka saya putuskan untuk membuatnya, seutuhnya:

Tanggapan Atas “Sobekan  Lead” Dahlan Iskan

Oleh:Irawan.

MENGOMENTARI tulisan senior saya, DahlanIskan, yang sering saya sapa sebagai “Toa koh Yee ZheKan” pada salah satu artikelnya yang dimuat di Disway, Sobekan Lead. Salah satu dari kutipan alineanya, “Lead adalah kalimat pembuka dalam tulisan. Mencari kalimat pembuka, adalah salah satu bagian yang tersulit dalam menulis”. Kebetulan lead yang telah dicatatnya di secarik sobekan kertas hilang tertinggal entah kemana.

Memang “Lead” itu adalah hal yang perlu wangsit untuk mendapatkannya. Apalagi kalau harus kita sendiri yang harus menciptakannya.

Teringat seperempat abad yang lalu di mana saya baru mulai merintis majalah Indonesia Media, harus pula jadi editornya. Membuat majalah sekolah saja belum pernah. Apalagi pernah ada catatan hitam, yaitu angka 4 di rapor Bahasa Indonesia ketika di SMP. Pasalnya saya gagal menyebutkan 26 arti kegunaan awalan “me”. Celakanya saya dituduh pula sebagai plagiator atas karangan puisi saya yang katanya kelewat sempurna buat ukuran murid SMP.

Maka tak ayal saya di vonis angka mati, “4”. Ya Tuhan ampunilah dosa guru Bahasa Indonesia saya itu dalam perjalanannya di alam baka. Mungkin warisan genetika masih tersalur ke sanubari saya, dari kakek saya, dr Chen Lung Kit yang selalu menulis kuplet di gerbang masuk PancoranGlodok, Batavia, di setiap hari ulang tahun Ratu Wilhelmina. Ditambah karya mendiang ayah saya, dr Putrasatia, sebagai kolumnis kesehatan di surat kabar harian Indonesia Raya.

0 Komentar