Pelestarian Mendong dan Penanggulangan Kasus Stunting Jadi Fokus Kemitraan Sekolah Farmasi ITB dan Desa Tanjungsari Kabupaten Tasikmalaya

Sekolah Farmasi ITB
Mahasiswa Sekolah Farmasi ITB saat melaksanakan kegiatan pengabdian masyarakat di Desa Tanjungsari Kecamatan Gunungtanjung Kabupaten Tasikmalaya, Sabtu 18 November 2023. (Sekolah Farmasi ITB for Radartasik.id)
0 Komentar

RADARTASIK.ID – Sejak tahun 2021, Sekolah Farmasi ITB (Institut Teknologi Bandung) telah menjalin kemitraan dengan Desa Tanjungsari Kecamatan Gunungtanjung Kabupaten Tasikmalaya dalam rangka peningkatan taraf kesehatan dan ekonomi masyarakat setempat.

Stimulasi pengembangan UKM dan BUMDES juga menjadi fokus utama kegiatan kemitraan ini. Kegiatan melibatkan ibu rumah tangga pengrajin kerajinan mendong serta kader desa.

Kerajinan mendong menjadi satu fokus karena semakin sedikitnya ibu rumah tangga yang menggeluti kerajinan tersebut yang dapat berujung pada punahnya tradisi kerajinan tersebut di masa yang akan datang.

Baca Juga:SUTT 150 KV New Kadipaten-Sunyaragi Dioperasikan Lagi, PLN UPT Cirebon Perkuat Keandalan Sistem KelistrikanPrediksi Atalanta vs Sporting Lisbon di Liga Eropa 2023, Statistik, Skor, Susunan Pemain, dan Head to Head

Hal itu memang tidak terlepas dari nilai ekonomis kerajinan mendong yang dihasilkan. Hingga saat ini masyarakat Kampung Cikuya Desa Tanjungsari umumnya menghasilkan produk setengah jadi berupa kepangan mendong dan tikar, belum ada upaya untuk memvariasikan produk.

Jalinan kepang hasil anyaman dan tikar tenunan mendong dikumpulkan/dijual kepada pengepul dengan harga 10.000 per 100 meter kepang dan Rp 50 ribu per lembar tikar mendong dengan ukuran 85 x 250 cm.

Untuk menghasilkan kepangan dan tikar dengan ukuran tersebut diperlukan waktu seharian.

Bekerja sama dengan Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD), Sekolah Farmasi ITB mengadakan workshop peningkatan keterampilan kerajinan mendong di Kampung Cikuya Desa Tanjungsari.

Workshop dihadiri oleh ibu-ibu kader pengrajin anyaman dan tenunan mendong. Dari workshop ini diharapkan dapat meningkatkan keterampilan pengrajin untuk mampu memproduksi produk akhir tenunan dan anyaman mendong yang lebih bervariasi dengan menggunakan pewarna alami.

”Konsumen terutama terutama wisatawan mancanegara akan lebih menyukai warna natural dari pewarna alami dibandingkan dengan pewarna sintetik. Selain itu juga isu berkaitan dengan lingkungan dari pewarna sintetik,” ujar Dr Dian Widyawati, dosen seni kriya FSRD ITB.

Selama ini para pengrajin anyaman mendong di Cikuya hanya memproduksi produk setengah jadi berupa jalinan kepang, sedikit berbeda dengan pengrajin tenun yang sudah mampu untuk memproduksi produk akhir tetapi terbatas pada tikar dengan pola dan pewarnaan yang masih terbatas menggunakan pewarna sintetik.

0 Komentar