Membangun Budaya Komunikasi yang Mempersatukan

Komunikasi
Foto: UIN Bandung untuk radartasik.id
0 Komentar

Ia menyebut bahwa dalam media sosial, masyarakat secara umum sering mendapatkan informasi yang tidak benar. Bahkan ada informasi yang mengandung unsur kepalsuan atau fake information, yang sangat merugikan. Atau, setidaknya ada semacam kekacauan informasi alias information disorder yang terdapat di dalamnya.

Fenomena ini bukan hanya terjadi pada ranah politik, tetapi juga di ranah kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan, sampai kehidupan beragama.

Ia menyebut bahwa berdasarkan laporan hasil kajian Setara Institute, Jawa Timur saat ini disebut sebagai provinsi dengan tingkat pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berbudaya atau KBB paling banyak. Provinsi tersebut telah menggeser posisi Provinsi Jawa Barat yang seringkali dikatakan sebagai provinsi yang intoleran.

Baca Juga:Spekulasi Pergeseran Pegawai Terus Berkembang, Pemkot Didorong Beri Kepastian Soal Nama Kadis yang Akan DigeserBukan Hanya Motor, Uang Kes Sebesar Rp 17 Juta Juga Ikut Ludes Dilalap Api Saat Kebakaran Terjadi di Ciamis

“Menariknya, data tersebut menunjukkan bahwa salah satu kasus yang paling banyak muncul (di Provinsi Jawa Timur) adalah penolakan atas ceramah keagamaan yang dilakukan beberapa ustadz, oleh kelompok-kelompok Islam tertentu. Penolakan ini terutama terjadi ketika penceramah-penceramah yang datang dianggap mengancam pada tradisi lokal atau praktik keagamaan tertentu yang biasa dijalankan oleh masyarakat muslim setempat,” terangnya.

Data itu, kata dia, menujukkan polarisasi di internal umat Islam sendiri masih sering terjadi. Bahkan di media sosial pertentangannya lebih sengit. Yaitu adanya kontestasi otoritas keagamaan tradisional yang sudah mapan dengan otoritas-otoritas keagamaan baru.

Banyak kolom komentar pada video ceramah-ceramah keagamaan yang disampaikan ustaz-ustaz tertentu, berisisi pertengkaran antara para pengikut yang berbeda pemahaman.

Ironisnya, percekcokan seperti ini bukan hanya diikuti masyarakat umum. Kadang terjadi juga pada kelompok terpelajar. Bahkan kelompok peneliti pun terlibat.

“Pada satu sisi, khususnya pada skala mikro kita bisa mengatakan bahwa konflik dan gesekan seperti itu wajar terjadi dan merupakan bagian dari dinamika kehidupan sosial. Tapi di sisi lain, fenomena ini juga bisa jadi mengindikasikan tidak berjalannya institusi sosial yang ada di level masyarakat yang di antaranya dihidupkan oleh proses komunikasi yang berkesinambungan. Selain itu, pada spektrum lebih luas, kita juga perlu melihat secara seksama tentang kemungkinan adanya structural problem yang turut mempengaruhi munculnya masalah tersebut,” paparnya.

0 Komentar