Mahasiswa Hukum di Tasikmalaya Diajak Pahami Restorative Justice

Hukum
Mahasiswa Perguruan tinggi Fakultas Hukum Unigal, Universitas Siliwangi dan STHG saat mengikuti dialog publik di Kampus STHG yang diisi oleh Kepala Kejaksaan Negeri Kota Tasikmalaya, Fajaruddin Yusuf SE SH MH. (DIKI SETIAWAN / RADAR TASIKMALAYA)
0 Komentar

TASIKMALAYA, RADARTASIK.ID – Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Sekolah Tinggi Hukum Galunggung (STHG) menggelar dialog publik tentang perkembangan dan penerapan restorative justice di Kota Tasikmalaya, dengan judul hukum bukan sarana balas dendam di Kampus STHG, Kamis (8/6/2023).

Para peserta yang mengikuti kegiatan dialog tersebut adalah perwakilan delegasi dari Fakultas Hukum Galuh Ciamis, Fakultas FISIP Universitas Siliwangi dan Mahasiswa Hukum STHG yang terdiri dari 115 orang.

Dengan menghadirkan narasumber Kepala Kejaksaan Negeri Kota Tasikmalaya Fajaruddin Yusuf dan Dosen Hukum Pidana STHG Tasikmalaya Ujang Jaka SH MH.

Baca Juga:Hebattt!!! SMAN 1 Kota Tasikmalaya Juara Olimpiade Sosiologi NasionalBig Data Bagi Profesi Akuntan di Era Digital

Kepala Kejaksaan Negeri Kota Tasikmalaya Fajaruddin Yusuf SE SH MH mengapresiasi kegiatan dialog publik yang dilaksanakan oleh BEM STHG Tasikmalaya.

Dia menyebutkan melalui kegiatan dialog publik tentang perkembangan dan penerapan restorative justice ini, perlu diketahui oleh masyarakat, termasuk mahasiswa dalam hal penyelesaian masalah hukum pidana lewat jalan damai antara kedua pihak dengan ketentuan dan aturan tertentu.

Menurut dia, pendekatan penyelesaian masalah hukum tindak pidana yang di luar persidangan yang melibatkan pelaku, korban dan tokoh masyarakat, untuk menyelesaikan perkara yang sifatnya ringan, bisa melalui restorative justice.

“Maka dari itu, adik-adik mahasiswa melalui dialog publik ini dihimbau untuk memberikan sosialisasi kepada masyarakat akan pentingnya mendukung restorative justice ini,” ungkap Fajaruddin, kepada Radar, usai mengisi materi dialog publik di Kampus STHG.

Dia menambahkan, ketika ada salah satu pihak tidak mau berdamai, misalnya untuk menempuh restorative justice dalam kasus tindak pidana, kejaksaan tidak bisa memfasilitasinya. “Untuk contoh penyelesaian tindak pidana hukum yang ditempuh dengan restorative justice di kita masih minim. Karena itu tadi, ketika ada salah satu pihak yang tidak mau berdamai, tidak bisa kita lakukan,” tambah dia.

Dia menambahkan, masyarakat juga harus memahami, bahwa dalam memidana atau memenjarakan seseorang itu, lebih banyak mudharatnya.

“Maka perlu pemahaman dari masyarakat, termasuk dialog publik seperti yang dilaksanakan oleh mahasiswa BEM STHG ini sangat bagus. Setidaknya di lingkungan masing-masing masyarakat, dalam pendekatan hukum pidana lewat restorative justice, lebih baik berdamai daripada memenjarakan seseorang, untuk perkara ringan,” tambah dia.

0 Komentar