Oleh: Dadan Alisundana
Penduduk Indonesia ada sekitar 278 juta jiwa. Hidupnya tersebar di 17 ribuan pulau. Suku bangsanya ada 1.340. Memiliki 718 bahasa. Sangat majemuk dan rentan konflik.
Pun demikian di Kota Tasikmalaya. Ada 18 etnis. Di antaranya Sunda, Jawa, Betawi, Minang, Batak, Madura, Aceh, Tionghoa, Arab, Pakistan, Manado, Maluku, Papua, Lombok, hingga Flores.
Agama mayoritas penduduknya muslim. Agama lainnya Katolik, Kristen, Budha, Hindu, Konghucu.
Baca Juga:Domba Jatuh dari Mobil, Pencuri Hewan Ternak Terciduk di Tasikmalaya, Inilah Kronologi Lengkap Menurut PolisiRayakan Momen Spesial dengan Gaya, Alhambra Hotel & Convention Siapkan Segalanya untuk Anda!
Dua hal ini, etnis dan agama, merupakan potensi timbulnya konflik. Atau kalau ada pemicu konflik lain pun sentimen etnis dan agama berpeluang jadi imbasnya.
Peristiwa kelam sejarah konflik di Kota Tasikmalaya terjadi pada 26 Desember 1996.
Pemicu konfliknya ketika seorang ajengan (ustaz) mendapat perlakuan tidak pantas sewaktu menjalani proses pemeriksaan di polres.
Hal ini dilakukan oleh oknum polisi. Tetapi memicu kemarahan masyarakat Tasikmalaya.
Masyarakat yang kulturnya sangat menghormati ajengan atau kiai, tidak terima. Panutannya mendapat perlakuan tidak pantas dari oknum polisi.
Terjadilah amuk massa. Polisi jadi sasaran kemarahan. Suasana kota mencekam. Para polisi lainnya kena imbas.
Mereka harus menyelamatkan diri agar tidak kena imbas kemarahan massa. Anggota yang turun ke lapangan untuk memantau massa harus memakai pakaian biasa.
Sasarannya massa bukan hanya marah kepada polisi. Emosi massa yang liar berubah menjadi kerusuhan sentimen anti-etnis dan agama.
Baca Juga:MAF Polbangtan Kementan Dorong Anak-Anak Muda Manfaatkan Teknologi Modern Dongkrak Produktivitas PertanianNelayan Karawang Deklarasikan Dukungan Penuh untuk Pasangan Ahmad Syaikhu-Ilham Habibie di Pilgub Jabar 2024
Suasana kota yang biasanya adem ayem, damai, berubah mencekam. Massa melakukan perusakan, pembakaran serta penjarahan toko-toko milik etnis Tionghoa.
Pun tempat ibadah seperti gereja tidak luput dari sasaran perusakan. Di hari itu keadaaan Tasikmalaya begitu kelabu.
Tidak Boleh Terulang
Bagi Tasikmalaya, peristiwa kerusuhan tersebut benar-benar sejarah kelam. Sekaligus sejarah memalukan.
Ya, malu karena gagal merawat kedamaian dan rasa aman masyarakat yang bhineka.
Malu karena akal sehat terabaikan. Sehingga tidak mampu menggunakan kata-kata untuk dialog mencari solusi sebuah masalah. Kalah oleh emosi yang berbuah kekalapan masal.
Berkaca dari kerusuhan itu, mayoritas masyarakat Tasikmalaya tidak ingin kejadian serupa terulang.
Sebab dampak akhirnya merugikan masyarakat Tasikmalaya sendiri. Aktivitas ekonomi lumpuh. Rasa aman hilang. Antar-etnis hubungan sosial tidak nyaman. Saling curiga.