”Jadi mengundurkan diri dari jabatan Ketua DPRD?” tanya saya.
”Jadi, Abah,” jawabnya.
”Kan Pak Bupati Lumajang ingin sampeyan tetap ketua DPRD…”
[membersonly display=”Baca selengkapnya, khusus pelanggan Epaper silakan klik” linkto=”https://radartasik.id/in” linktext=”Login”]
”Saya tetap minta mundur.”
”Semua fraksi kan juga tidak setuju sampeyan mundur….”
”Saya tetap mundur. Ini memalukan. Ketua DPRD kok tidak hafal Pancasila,” jawabnya.
Itulah Anang Akhmad Saifuddin, ketua DPRD Kabupaten Lumajang. Dari PKB. Umur 43 tahun. Anaknya tiga orang. Yang tertua baru kelas 1 Madrasah Ibtidaiyah. ”Saya kawin telat sekali. Umur 34 baru kawin,” katanya.
Tidak hafal Pancasila?
Baca Juga:Situ Gede Telan Anak NongkrongRachmat Irianto Makin Termotivasi
Sebenarnya ia hafal. Keadaan sesaat itu yang membuat ia blank, kehilangan memori.
Anang orang yang apa adanya. Tidak pernah menutup diri. Sikapnya terbuka. Tidak ada rombongan demo yang ia tolak. Pun hari itu. DPRD Lumajang didatangi pendemo kenaikan harga BBM.
Rombongan pendemo pertama dari PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia). Berlangsung sampai tengah hari. Pukul 11.30 baru bubar.
Anang lantas salat duhur. Lalu istirahat di kursi. Tertidur. Masih ada waktu. Demo berikutnya baru jam 14.00. Dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Ketika tidurnya belum lelap, Anang dibangunkan. Rombongan HMI sudah tiba. Mereka datang 1,5 jam lebih cepat dari rencana. Anang langsung bangkit dari kursi. Ia menemui pendemo. Belum sempat makan siang.
Rombongan HMI ini sekitar 25 orang. Juga demo soal kenaikan harga BBM. Anang minta mereka masuk ruang sidang pleno DPRD. Pimpinan demo ia minta duduk di kursi pimpinan. Bersebelahan dengan Anang dan para wakil ketua.
Saat itulah pendemo mulai berteriak-teriak. Kenaikan harga BBM ini tidak sesuai dengan Pancasila. Mereka lantas meminta para pimpinan DPRD mengucapkan teks Pancasila. ”Paling-paling para pimpinan ini tidak hafal,” teriak mereka.
Baca Juga:Ikuti Senam Disway, Raih Peluang ke BaliPenerima BLT Harus Vaksin Covid-19
Anang pun berdiri. Mengucapkan teks Pancasila. Urutan pertama benar. Pun sampai butir ketiga. Benar semua. Ketika masuk butir keempat teks yang diucapkan Anang tidak tepat. Pendemo teriak-teriak: salah, salah, salah.
Gaduh.
Itu di luar perkiraan Anang.
”Waktu diminta mengucapkan Pancasila saya pede saja. Saya langsung berdiri. Gak masalah. Masak Pancasila tidak hafal,” ujar Anang kepada saya kemarin. ”Ternyata tiba-tiba saya tidak hafal bunyi butir keempat. Imun saya lagi turun,” katanya.