Aktifkan Kembali Aturan Tamu Wajib Lapor

CIHIDEUNG, RADSIK – Fenomena ‘sewa tempat’ per jam yang menjamur melalui media sosial (medsos) memicu kekhawatiran sejumlah kalangan. Terutama setelah adanya temuan di wilayah Sukamaju Kidul Kecamatan Indihiang akhir pekan ini. Dimana 7 pasangan bukan muhrim masing-masing menyewa kamar seharga Rp 30 ribu per jam untuk pacaran. Info sewa kamar itu mereka dapat dari media sosial.

Sekretaris Karang Taruna Kota Tasikmalaya Arief Abdul Rohman menilai masyarakat perlu mengaktifkan kembali aturan pengawasan lingkungan. Seperti penerapan “1×24 jam Tamu Wajib Lapor” dan juga ronda.

“Kultur semacam ini, di beberapa wilayah sudah hilang. Seolah publik mengandalkan sepenuhnya kepada petugas keamanan suatu kompleks atau aparat hukum di wilayah setempat,” tuturnya kepada Radar, Senin (26/12/2022).

[membersonly display=”Baca selengkapnya, khusus pelanggan Epaper silakan klik” linkto=”https://radartasik.id/in” linktext=”Login”]

Menurutnya penerapan program lama itu bisa menjadi alat menekan prilaku Amoral yang memanfaatkan sarana kosan atau kontrakan. Bisa juga didukung program lain seperti Pemuda Jaga Lembur atau gerakan-gerakan kemasyarakatan lainnya.

“Memang kecanggihan teknologi informasi, kemudian masifnya Kota Tasikmalaya menjadi daerah urban dengan segala ekses dan fenomena yang bermunculan, sulit dinafikan. Namun, dengan upaya-upaya gerakan semacam ini, bisa mempersempit ruang penyalahgunaan dan meminimalkan risiko terjadinya pekat (penyakit masyarakat, Red) serta sejenisnya, di wilayah masing-masing,” tuturnya.

Mantan aktivis PMII itu mengungkapkan persoalan seperti itu salah satunya efek perkembangan wilayah. Saat ini Kota Tasikmalaya terus berkembang dan menjadi tujuan para pendatang dari berbagai daerah.

“Jadi, jangan sampai warga sendiri apatis ketika ada orang asing atau warga lain yang tiba-tiba hadir di lingkungannya. Minimal para RT/RW dan pemuda setempat mengetahui pergerakan atau perkembangan di wilayahnya dari sisi kependudukan. Apalagi kos-kosan yang relatif sering berganti orang atau penyewa, tentu perlu perhatian khusus,” papar Arief.

Menurutnya saat ini sudah muncul fenomena, dimana ada jarak antara pendatang dengan warga setempat. Banyak pendatang yang cenderung sibuk sendiri, tidak berbaur dengan warga sekitar. Hal itu diperparah dengan acuhnya perangkat kewilayahan terhadap perkembangan lingkungannya.

“Perkembangan kota dan teknologi berpengaruh terhadap kultur di masyarakat. Orang ngekos saja tak membaur menjadi warga sekitar. Maka kami dorong upaya-upaya tradisi lama kembali digalakan. Agar meminimalkan risiko penyimpangan yang kini mulai merambah ke lingkungan warga,” tegasnya.

Hal serupa diungkapkan Sekretaris Komisi I DPRD Kota Tasikmalaya Anang Sapaat. Ia menekankan peran dan fungsi stakeholder serta unsur kewilayahan harus dipertegas. “Kita setiap momen pertemuan selalu tekankan, koordinasi, komunikasi antara dinas pengampu binwasdal dengan pemilik kewenangan di kewilayahan. Salah satunya mengawasi pertumbuhan dan pergerakan sekecil apapun di wilayah. Barangkali ada yang beririsan dengan tugas pokok dan fungsi OPD masing-masing,” papar dia.

Dia menambahkan kemajuan teknologi saat ini, cenderung memudahkan siapa saja untuk berkomunikasi. Pemerintah melalui aparatur di berbagai lini, mesti lebih canggih lagi menjaring informasi dan mengantisipasi gangguan-gangguan yang berpotensi merusak moral atau bahkan jati diri warga Kota Tasikmalaya.

“Belakangan ini kan kita lihat elemen publik cukup antusias mengambil peran pengawasan dan berkoordinasi dengan aparat berwenang. Spirit ini kami minta dirangsang ke sektor wilayah. Artinya di setiap wilayah terjadi sesuatu bisa ditindaklanjuti pihak terkait dengan cepat,” tegas Ketua Partai Demokrat itu. (igi)

[/membersonly]

Belum berlangganan Epaper? Silakan klik Daftar!