TASIKMALAYA, RADARTASIK.ID — Kontraktor sudah lama memahami satu pasal yang tak pernah gagal ditegakkan: keterlambatan pekerjaan berarti denda.
Di lapangan, tak sedikit penyedia jasa harus menanggung potongan harian ketika proyek lewat dari jadwal.
Namun sebuah pertanyaan sederhana muncul dari para pelaku usaha konstruksi: “Kontraktor telat kerjaan kena denda. Pemerintah telat bayar kena apa?”
Baca Juga:Akses ke HZ Mustofa Ditutup Pukul 16.00 Sore ini, Padayungan Pukul 21.00: Malam Tahun Baru di Kota TasikmalayaKetua MUI Kota Tasikmalaya Ajak Warga Isi Pergantian Tahun dengan Doa dan Kepedulian Sosial
Pertanyaan itu bukan tanpa alasan. Banyak kontraktor membiayai pekerjaan menggunakan fasilitas perbankan.
Bunga berjalan setiap hari, sementara pembayaran dari pemerintah tak kunjung cair.
Ketika uang belum diterima, bunga tetap berlari. Lalu siapa yang menanggung?
Seorang kontraktor menyampaikan kegelisahannya. Ia menyebut, bukan sedikit rekanan yang harus menutup biaya bunga bank dari kantong sendiri.
“Padahal pekerjaan sudah selesai, administrasi sudah beres, tapi pencairan tersendat. Kalau kontraktor yang telat, sanksinya jelas. Kalau pemerintah yang telat, seperti tidak ada konsekuensi,” keluhnya, Rabu (31/12/2025).
Secara regulasi, dalam kontrak pengadaan pemerintah memang diatur denda keterlambatan bagi penyedia.
Namun denda keterlambatan pembayaran oleh pemerintah tidak selalu eksplisit, kecuali dituangkan dalam klausul kontrak—misalnya denda keterlambatan pembayaran atau kompensasi bunga.
Baca Juga:Tahun Berganti, Tagihan Masih Menanti: Pembayaran Pihak Ketiga Diminta Sabar Hingga Tahun Berganti!Rakercab Pramuka Kota Tasikmalaya Dorong Adaptasi Digital Berbasis Tri Satya
Di beberapa daerah, kontrak sudah mencantumkan hak penyedia atas kompensasi biaya bila pembayaran terlambat di luar kesalahan kontraktor.
Namun di daerah lain, pasal tersebut belum menjadi standar. Di sinilah problemnya.
Kontraktor berada di tengah, pekerjaan harus selesai, material dan tenaga kerja harus dibayar, bunga bank terus berjalan, namun pembayaran termin tersendat karena faktor administrasi maupun alur anggaran.
Belum lagi jika sumber dananya dari DAU, yang pencairannya sering kali menunggu prioritas belanja lain seperti gaji pegawai.
Sementara itu proyek berbasis DAK biasanya lebih cepat cair karena peruntukannya sudah spesifik.
“Idealnya kontrak itu adil bagi kedua belah pihak. Kalau penyedia telat, ada sanksi. Kalau pemerintah telat bayar, mestinya ada konsekuensi juga.” Namun praktiknya belum seragam.
Pertanyaan pun menggantung, Jika bunga bank timbul akibat keterlambatan pembayaran pemerintah, apakah itu seharusnya menjadi beban kontraktor?
