Dari sudut pandang ekonomi, efisiensi ini sangat menggoda karena mampu memangkas antrean, waktu, dan biaya operasional.
Bagi dunia usaha, kecepatan transaksi berarti peningkatan produktivitas dan potensi keuntungan.
Bagi pemerintah, sistem ini menjanjikan transparansi dan kemudahan pelacakan arus uang.
Baca Juga:Motorola Moto G45 5G Alami Peningkatan Performa Gaming Usai Update Android 15Terbaru Dari Infinix Note 60 Ultra: Bawa Desain Italia Masuk ke Smartphone Kelas Atas
Namun, ketika pembayaran menyatu dengan tubuh, isu ekonomi tidak lagi berhenti pada efisiensi.
Pertanyaan besar mulai muncul tentang keamanan data biometrik finansial dan siapa yang memegang kendali atasnya.
Setiap transaksi yang tercatat permanen menghapus ruang anonimitas dalam aktivitas ekonomi.
Di satu sisi, kejahatan finansial dapat ditekan, tetapi di sisi lain muncul risiko kontrol berlebihan terhadap individu.
Jika akses ekonomi dibekukan akibat kesalahan sistem atau kebijakan, seseorang bisa kehilangan kemampuan bertransaksi secara total.
Indonesia berada pada posisi unik karena adopsi sistem non-tunai berlangsung sangat cepat hingga ke level pedagang kecil.
Namun, kesiapan regulasi dan literasi publik masih menjadi pekerjaan rumah besar.
Baca Juga:Bocoran Tecno Pova 8, Bakal Pamer Baterai Besar dan Layar Super MulusPetani Bisa Naik Kelas di Tengah Krisis, Ini Beberapa Jenis Tanaman yang Diam-Diam Jadi Mesin Uang di 2026
Kemungkinan besar, sistem pembayaran cashless 2026 tidak hadir sekaligus, melainkan bertahap di sektor dan wilayah tertentu.
Seiring waktu, sistem ini akan terasa normal, sebagaimana QRIS yang dulu dianggap rumit kini menjadi kebutuhan.
Pada akhirnya, perubahan ini akan membentuk masa depan transaksi digital global yang sulit dihindari.
Pertanyaannya bukan lagi soal teknologi, melainkan kesiapan manusia menghadapi sistem yang semakin tak terlihat namun semakin menentukan hidup sehari-hari.
