Kekerasan Perempuan dan Anak di Kota Tasikmalaya Mengkhawatirkan, Psikolog Ingatkan Ancaman Trauma Kolektif

kekerasan perempuan dan anak di Kota Tasikmalaya
Psikolog, Rikha Surtika Dewi, saat menyampaikan materi parenting kepada orangtua di Sekolah Rakyat Kota Tasikmalaya, Jumat lalu. ayu sabrina / radar tasikmalaya
0 Komentar

Ia juga menyoroti kekerasan non-fisik yang kerap luput dari perhatian, seperti kekerasan verbal dan pengabaian.

Meski tidak kasat mata, dampaknya dinilai lebih berbahaya dalam jangka panjang.

Rikha mengaitkan kondisi ini dengan munculnya agresivitas anak muda di ruang publik, termasuk keterlibatan dalam geng motor dan perilaku brutal lainnya.

Baca Juga:Di Perum Melati Mas Kota Tasikmalaya, 67 Anak Menjaga Cahaya Al-qur’an Dari Madena TahfizhJasa Usaha Sudah Tancap Gas, Retribusi Kota Tasikmalaya Masih Jalan Santai di 60 Persen

Ketiadaan pendampingan yang holistik, lanjut Rikha, berisiko memicu retraumatisasi sekaligus menumbuhkan ketidakpercayaan korban terhadap negara.

Penanganan kekerasan, menurutnya, tidak cukup berhenti pada proses hukum atau lembaga pendamping.

“Pendampingan saya sebagai psikolog mungkin hanya 20 persen. Sisanya sangat ditentukan oleh keluarga dan lingkungan tempat anak tinggal,” katanya.

Tanpa pemahaman keluarga, respons emosional korban seperti menangis tiba-tiba, enggan makan, atau mudah tersinggung kerap disalahartikan sebagai kenakalan dan justru dimarahi, sehingga memperparah kondisi psikologis anak.

Dari sisi lembaga independen, Ketua KPAD Kota Tasikmalaya, Rina, mencatat masih kuatnya budaya penyelesaian damai, bahkan pada kasus serius seperti kekerasan seksual.

Pola pikir ini membuat banyak kasus tidak berlanjut ke pendampingan yang semestinya.

Secara wilayah, Kecamatan Indihiang, Mangkubumi, Kawalu, dan Purbaratu tercatat sebagai daerah dengan kasus menonjol.

Baca Juga:Parkir Tanpa Karcis di Kota Tasikmalaya Dievaluasi, Tarif Rp3.000 Masih Kalah Sama Rp2.000Relokasi UMKM atau Isolasi Dagang? Jalan HZ Mustofa Jadi Ujian Kebijakan di Kota Tasikmalaya

Sementara itu, Polres Tasikmalaya Kota melalui Unit PPA mengakui tingginya kasus persetubuhan anak dan KDRT.

Penanganan dilakukan dengan pendekatan hukum yang dikombinasikan dengan perlindungan dan pembinaan, terutama ketika pelaku juga masih berusia anak.

Bagi Rikha, konsekuensi psikologis paling serius dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan adalah terbentuknya kultur kekerasan di masyarakat.

“Lingkungan yang kita bangun hari ini akan dilihat dan dipelajari anak-anak. Dari situlah budaya menyelesaikan masalah akan diwariskan,” tambahnya.

Tanpa pembenahan sistemik dan kesadaran kolektif, Kota Tasikmalaya berisiko mewariskan trauma, bukan hanya kepada korban hari ini, tetapi juga kepada generasi berikutnya. (ayu sabrina)

0 Komentar