TASIKMALAYA, RADARTASIK.ID — Kota Tasikmalaya tengah menghadapi persoalan serius yang tak lagi bisa dibaca sebagai kasus kekerasan per kasus.
Di balik deretan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak sepanjang 2025, tersimpan ancaman psikologis jangka panjang yang dikhawatirkan membentuk wajah sosial masyarakat dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan.
Psikolog Rikha Surtika Dewi menilai, bahaya terbesar dari maraknya kekerasan bukan semata trauma individu, melainkan risiko normalisasi kekerasan sebagai cara menyelesaikan masalah di tengah masyarakat.
Baca Juga:Di Perum Melati Mas Kota Tasikmalaya, 67 Anak Menjaga Cahaya Al-qur’an Dari Madena TahfizhJasa Usaha Sudah Tancap Gas, Retribusi Kota Tasikmalaya Masih Jalan Santai di 60 Persen
Menurut Rikha, dampak kekerasan tidak pernah seragam. Usia korban, jenis kekerasan, serta lingkungan tempat anak tumbuh sangat menentukan konsekuensi psikologisnya.
Namun, ketika kekerasan terjadi berulang dan hadir dalam keseharian, muncul kondisi yang paling mengkhawatirkan, yakni toleransi sosial terhadap kekerasan.
“Pada anak, ancamannya bukan hanya trauma psikologis, tetapi pembentukan pola perilaku di masa depan. Dalam mindset mereka, kekerasan bisa ditoleransi sebagai cara menyelesaikan masalah,” kata Rikha, Selasa 23 Desember 2025.
Ia menjelaskan, trauma umumnya berawal dari kecemasan, rasa tidak aman, serta kekhawatiran berkepanjangan yang kemudian menghambat perkembangan emosi dan sosial korban.
Skala persoalan ini tercermin dari data UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kota Tasikmalaya.
Kepala UPTD PPA, Epi Mulyana, mencatat sepanjang 1 Januari hingga 17 Desember 2025 terdapat 202 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 155 korban merupakan anak-anak, baik perempuan maupun laki-laki.
Baca Juga:Parkir Tanpa Karcis di Kota Tasikmalaya Dievaluasi, Tarif Rp3.000 Masih Kalah Sama Rp2.000Relokasi UMKM atau Isolasi Dagang? Jalan HZ Mustofa Jadi Ujian Kebijakan di Kota Tasikmalaya
Jenis kasus yang ditangani beragam, mulai dari pencabulan, persetubuhan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), penganiayaan, hingga grooming.
Angka itu belum termasuk kasus anak berhadapan dengan hukum, perebutan hak asuh, serta pendampingan kesehatan dan trauma psikologis.
Rikha menilai tingginya kasus kekerasan di Kota Tasikmalaya tidak bisa dilepaskan dari lemahnya sistem pencegahan dan perlindungan pasca-laporan.
Keberadaan safe house, pendampingan psikologis berkelanjutan, serta edukasi keluarga dinilai masih belum optimal.
Dalam banyak kasus KDRT, anak tidak hanya menjadi korban langsung, tetapi juga saksi relasi kekerasan orang tua di rumah.
“Anak belajar dari apa yang dia lihat. Melihat saja kekerasan sudah cukup untuk menanamkan keyakinan bahwa masalah bisa diselesaikan dengan cara itu,” terangnya.
