TASIKMALAYA, RADARTASIK.ID – Setiap Hari Ibu, negeri ini mendadak penuh ibu. Ibu di spanduk pusat perbelanjaan, ibu di notifikasi diskon, ibu di caption media sosial yang dibubuhi emoji bunga dan hati—seolah kasih sayang bisa diringkas dalam satu hari libur, satu unggahan, dan satu kalimat yang dimulai dengan “Terima kasih, Ibu…”.
Hari Ibu datang seperti tamu penting yang kita sambut dengan karpet merah kata-kata indah, lalu kita antar pulang dengan janji samar: besok aku akan lebih sabar. Besok, tentu saja, adalah kata yang paling sering menunda perubahan.
Dalam rumah-rumah, ibu tidak pernah benar-benar libur. Ia bekerja dengan jam yang tidak tercatat, gaji yang tidak ditransfer, dan evaluasi kinerja yang datang dalam bentuk komentar: “Kok nasinya keras?” Hari Ibu lalu menjadi semacam konferensi pers tahunan—satu hari di mana dunia mengakui keberadaan ibu, sebelum kembali menganggapnya sebagai latar belakang yang selalu ada.
Baca Juga:Jabar Tertinggi Realisasi Kredit Perumahan, Moratorium Izin oleh KDM Disorot Pemerintah PusatSatu Nama Masuk Dua Kandidat Eselon II karena Berdasarkan Rumpun dan Manajemen Talenta
Makna Hari Ibu terletak di sini: kita memuja ibu sebagai pahlawan super, lalu lupa bahwa pahlawan juga butuh istirahat. Kita menobatkannya “tiang negara”, namun sering lupa menopangnya. Kita menyebutnya “sekolah pertama”, tetapi jarang bertanya apakah gurunya lelah.
Di balik puisi-puisi dan lagu-lagu, makna Hari Ibu bersembunyi dengan tenang. Ia bukan tentang karangan bunga yang layu esok hari, melainkan tentang keberanian untuk mencuci piring tanpa diminta.
Bukan tentang kata-kata besar, melainkan tentang telinga yang mau mendengar ketika ibu bercerita hal kecil yang berulang—tentang harga cabai, tentang tetangga, tentang cuaca—yang sesungguhnya adalah cara ia mengatakan: aku ingin ditemani.
Hari Ibu juga adalah cermin. Ia memantulkan pertanyaan yang jarang kita jawab: apakah kita mencintai ibu sebagai manusia, atau sebagai peran? Apakah kita merayakan kasihnya, atau memanfaatkan kesabarannya? Dalam satire yang paling jujur, Hari Ibu mengolok-olok kita dengan lembut: “Kalian pandai merayakan, tapi bagaimana dengan merawat?”
