Persis seperti caranya memimpin. Ia tahu kapan polisi harus tampil di depan. Kapan cukup mendampingi. Kapan harus tegas. Kapan harus merangkul. Tidak semua bola harus ditendang keras ke gawang. Kadang cukup diarahkan agar permainan tetap hidup.
Diskusi malam itu berakhir tanpa kesan formal. Tapi meninggalkan satu kesimpulan diam-diam: Tasikmalaya sedang dijaga oleh komandan yang manusiawi. Yang bergerak cepat. Yang peduli. Yang kadang kagok—dan justru karena itu, dicintai.
Tasikmalaya mungkin beruntung. Punya komandan yang tidak hanya berdiri di barisan depan sebagai garda pengamanan, tapi juga berjalan di tengah warga sebagai penjaga rasa aman. Dengan langkah cepat. Dengan hati yang bekerja. Dengan cara yang manusiawi. (red)
