Moratorium Izin Perumahan di Jabar Berisiko Ganggu Ekonomi

izin perumahan
Retno Diyah Pekerti M.Ak, Dosen Akuntansi Universitas Cipasung.
0 Komentar

TASIKMALAYA, RADARTASIK.ID – Kebijakan penghentian penerbitan izin perumahan di Jawa Barat menjadi sangat berisiko. Selain dapat mempengaruhi ekonomi, kebijakan itu juga berlawanan arah dengan pemerintah pusat. Presiden Prabowo tengah menjalankan program 3 juta rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

Mengenai hal ini, akademisi Universitas Cipasung, Retno Diyah Pekerti M AK, punya pandangan lain. Khususnya dari sisi ekonomi.

Perempuan yang kini tengah mendalami riset Environmental, Social, and Governance (ESG) tersebut menilai kebijakan moratorium izin perumahan merupakan refleksi dari ketidakseimbangan tata kelola dalam proses transisi menuju ekonomi berkelanjutan.

Baca Juga:Developer di Wilayah Jawa Barat Tiba-Tiba Harus Menghentikan Napas!Update Kasus Endang Juta, Jaksa Bacakan Tuntutan di Pengadilan Negeri Bandung Besok!

ia menilai, langkah tersebut seharusnya menjadi momentum bagi pemerintah, perusahaan, dan para pemangku kepentingan untuk mengalihkan orientasi operasional ke konsep ESG yang tidak semata mengejar keuntungan ekonomi, tetapi juga memperhatikan aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola.

“Niat mulia mitigasi bencana pada aspek Environmental (lingkungan) justru diterapkan dengan cara yang mengabaikan aspek Social dan Governance (Sosial dan Tata Kelola),” ujarnya, Rabu (17/12/2025).

Kebijakan reaktif “rem mendadak” ini menurutnya berpotensi menciptakan ketidakadilan. Pengembang kecil yang mungkin telah patuh pada aturan lama, harus menanggung liabilitas ekonomi atas perubahan kebijakan yang tanpa kepastian waktu dan prosedur.

“Ini akan berdampak pada tingkat investasi dan kepercayaan para investor atau pengusaha,” tuturnya.

Dari perspektif akuntansi, Retno menyoroti adanya kelemahan dalam praktik akuntansi biaya lingkungan dan perencanaan berkelanjutan.

Risiko bencana yang seharusnya telah diinternalisasi dalam model bisnis dan kebijakan tata ruang justru muncul sebagai guncangan besar.

“Bagi dunia usaha, ketiadaan peta jalan transisi yang jelas berpotensi meningkatkan biaya menganggur atau idle cost, sekaligus mengancam keberlanjutan usaha, khususnya bagi pengembang bermodal kecil yang tidak memiliki diversifikasi proyek,” paparnya.

Baca Juga:Tasikmalaya Sudah Dipanggil Jawara, Tinggal Membuktikan Digitalnya Sampai ke Desa atau Berhenti di Panggung!Uang Tahun 2024 Sebesar Rp 51,9 Miliar di Kota Tasikmalaya Jalan-Jalan Tanpa Peruntukan!

Para pemangku kebijakan seharusnya membuat perencanaan ulang menuju tata kelola yang memandu, bukan melarang. Pemerintah harus segera membuat peta zonasi transisi yang jelas misalnya hijau, kuning, merah disesuaikan dengan lokasi dan tingkat resiko.

“Disisi lain akses pembiayaan hijau perlu disediakan untuk membantu industri, khususnya para pelaku kecil. Pengembang pun harus mulai memasukkan risiko lingkungan dan berinvestasi pada sertifikasi bangunan hijau sebagai asset strategis,” tandasnya.

0 Komentar