TASIKMALAYA, RADARTASIK.ID – Saya pernah mendengar orang berkata begini: dalam politik, yang paling berbahaya bukanlah lawan.
Melainkan orang terdekat. Yang duduk di sebelah kita. Yang setiap hari berbisik pelan, tapi terus-menerus.
Itulah yang kini sedang menjadi tren. Saya menyebutnya hipnotis politik.
Hipnotis ini tidak memakai bandul. Tidak ada hitungan satu sampai sepuluh.
Baca Juga:Mata Sehat, Masa Depan Terlihat: Gerakan Dinkes Kota TasikmalayaKarcis Parkir Tak Diberikan, Pidana Mengintai! Rawan Pungli di Kota Tasikmalaya
Tapi efeknya sama: membuat orang lupa. Lupa purwadaksi. Lupa siapa yang dulu mengeluarkan ide, gagasan, dan konsep. Lupa siapa yang bekerja sejak awal, ketika pertarungan belum dimulai dan sorot kamera belum menyala.
Cara kerjanya sederhana. Sangat sederhana. Playing victim. Merasa paling dizalimi. Merasa paling disingkirkan.
Lalu menyajikan potongan informasi—yang entah benar, entah salah—sebagai kebenaran tunggal. Tidak perlu data lengkap. Tidak perlu konfirmasi. Yang penting, emosinya sampai.
Hipnotis politik jarang datang dari jauh. Ia justru lahir dari lingkaran terdekat. Dari orang-orang yang setiap hari berada di sekitarnya. Yang aksesnya penuh. Yang suaranya paling sering didengar. Masukannya satu arah. Tidak ada ruang untuk pendapat lain. Apalagi kritik.
Pelan-pelan, yang terhipnotis mulai yakin: inilah kebenaran. Keputusan pun diambil. Cepat. Tegas.
Tapi tanpa klarifikasi. Tanpa verifikasi. Tanpa upaya membuktikan siapa sebenarnya yang benar, siapa yang hanya pandai merangkai cerita.
Di titik inilah politik menjadi berbahaya. Bukan karena perbedaan pilihan. Tapi karena akal sehat dimatikan. Rekam jejak dianggap tidak penting. Sejarah dianggap beban. Padahal, politik tanpa ingatan adalah pintu masuk pengkhianatan.
Baca Juga:KH Didi Abdul Majid, Reuni Menyambung Doa dan Merawat Ghirah Santri!Laskar Paseh Kota Tasikmalaya Menanam, Bergerak dan Belajar!
Waspadalah. Karena hipnotis politik selalu menjanjikan kemenangan cepat. Tapi sering meninggalkan luka panjang. Dan dalam banyak kisah, pengkhianatan itu tidak datang dari luar. Ia datang dari dalam. Dari orang-orang yang dulu paling dipercaya.
Sejarah punya cara sendiri untuk membalas. Dalam politik, azab tidak selalu turun dari langit. Kadang datang dalam bentuk yang sangat manusiawi: ditinggalkan, dikhianati, atau disalahkan oleh orang yang dulu dibela mati-matian.
Karena itu, sebelum mengambil keputusan politik, satu hal jangan pernah ditinggalkan: ingatan. Tentang purwadaksi. Tentang rekam jejak. Tentang siapa yang bekerja saat keadaan belum menguntungkan. Jika itu hilang, jangan salahkan siapa-siapa. Bisa jadi, kita sedang terhipnotis. (red)
