Sampdoria 2010/2011 juga jatuh ke Serie B walau sebelumnya finis di posisi keempat dan masih diperkuat duet Antonio Cassano–Giampaolo Pazzini, ditopang Angelo Palombo serta Daniele Gastaldello.
Catania 2013/2014 menyusul, meski diperkuat Francesco Lodi, Sergio Almiron, Gonzalo Bergessio, hingga Nicola Legrottaglie, dengan target awal sekadar memperbaiki peringkat kedelapan musim sebelumnya.
Terakhir, Genoa 2021/2022 juga tak luput dari nasib serupa, meski memiliki figur berpengalaman seperti Mimmo Criscito, Goran Pandev, dan kiper Salvatore Sirigu.
Baca Juga:Jurnalis Italia: Juventus Tidak Dijual, AC Milan Butuh Striker Tajam jika Ingin ScudettoJoe Jordan: “Hiu” AC Milan yang Terkenal karena Ribut dengan Gattuso
Lima tim, lima cerita pahit, dan satu benang merah yang sama: degradasi tak terduga di akhir musim yang kacau.
Selalu ada keyakinan semu, “Dengan skuad seperti ini, mustahil mereka turun.” Nyatanya, kecemasan degradasi justru menjadi jebakan, terutama ketika klub dan pemain gagal cepat beradaptasi dengan pertarungan di papan bawah yang tak pernah mereka persiapkan.
Kasus Fiorentina
Kondisi inilah yang membuat situasi Fiorentina saat ini tak boleh dianggap remeh.
Para pendukung yang pernah mengalami musim kelam 1992/1993 tentu paham, degradasi paling menyakitkan justru datang ketika rasa aman masih menyelimuti.
Di atas kertas, skuad La Viola musim ini tetap patut dihormati. Moise Kean merupakan salah satu striker paling berbahaya di liga, kualitas Albert Gudmundsson dan David De Gea tak perlu diragukan.
Sementara Mandragora, Dodô, dan Robin Gosens menawarkan konsistensi serta pengalaman meski realitas di lapangan berkata sebaliknya.
Setelah 15 pertandingan Serie A, Fiorentina belum mencicipi satu pun kemenangan. Lebih mengkhawatirkan, mereka sudah tertinggal delapan poin dari zona aman.
Baca Juga:Diberi Nilai 5,5 oleh Media Italia, Ciro Ferrara Kecam Penampilan Jonathan DavidMantan Pemain Juventus Sarankan Kenan Yildiz Pelajari Sejarah Del Piero: Hal Terpenting Adalah Mencetak Gol
Sebuah jarak yang signifikan, terlebih jika melihat fakta bahwa untuk mengumpulkan enam poin saja, Fiorentina membutuhkan 15 laga.
Masih ada waktu untuk membalikkan keadaan. Dengan kualitas skuad yang ada, peluang merangkai hasil positif secara beruntun tetap terbuka lebar.
Momentum bisa saja datang tiba-tiba. Namun, itu bukan jaminan.
Di Viola Park, kewaspadaan harus menjadi kata kunci karena sejarah telah memberi pelajaran pahit.
Jika Batistuta dan Brian Laudrup saja tak mampu menyelamatkan Fiorentina seperempat abad lalu, maka tak ada kepastian bahwa situasi serupa bisa diselamatkan hari ini—bahkan dengan Kean atau De Gea sekalipun.
